Sudah 32 tahun Wagiyo mengabdi sebagai petugas teknis lapangan di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Hampir tanpa henti, dia berkeliling mencari batuan candi, memilah, dan merekonstruksinya kembali. Tuntutan pekerjaan dan pengabdian itu membuat dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama batu candi ketimbang keluarga.
Wagiyo terbilang tukang senior dalam tim rekonstruksi. Dia biasanya bertugas ganda, sebagai pencari batu sekaligus pemasang atau penyetel batu candi. Dia bertugas menyusun candi sesuai dengan gambar yang diberikan.
Jika ada bagian candi yang tidak berhasil ditemukan, Wagiyo juga yang harus memutar otak membentuk tiruan bagian itu dari batu cadas. Keahlian Wagiyo inilah yang menurut Pengawas Teknis Subkelompok Kerja Pemugaran Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, Gunawan, membuat figur Wagiyo menjadi istimewa.
”Tidak semua pencari batu bisa memasang atau merekonstruksi batu menjadi candi. Sebaliknya, tidak semua pemasang batu bisa mencari batu. Tetapi Wagiyo bisa melakukan keduanya. Bahkan di antara petugas senior, dialah yang paling mumpuni,” kata Gunawan, atasan langsung Wagiyo.
Keistimewaan itu pula yang membuat tenaga Wagiyo dibutuhkan di berbagai tempat. Dia sudah dipercaya merekonstruksi Candi Brahma (Prambanan), Sojiwan dan Sewu di Klaten; Kolam Jolotundo, peninggalan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Dia pula yang mengerjakan perbaikan Candi Plaosan Lor di Klaten, perbaikan Candi Selogriyo di Kabupaten Magelang, Candi Arjuna di Dieng, Candi Ngempon di Kabupaten Semarang, perbaikan stupa Candi Sewu yang rusak akibat gempa bumi, Candi Klero di Kabupaten Semarang, Candi Setyaki di Dieng, dan Candi Perwara di Gedongsongo, Kabupaten Semarang.
Pengerjaan itu biasanya dilakukan terus-menerus sehingga tidak jarang dalam satu bulan Wagiyo hanya sempat bertemu dengan keluarganya tidak lebih dari dua malam. Sisa waktunya dihabiskan bermalam di sekitar candi, kadang Wagiyo juga tidur di barak pekerja atau di kantor proyek.
Begitu pula saat ditemui di candi perwara yang pertama, kompleks keempat Candi Gedongsongo di kawasan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jateng, akhir bulan lalu. Wagiyo bercerita, sudah lebih dari sebulan dia belum bisa pulang ke rumahnya di Kabupaten Klaten.
Sejak 24 Februari 2009, dia bersama belasan rekannya bertugas mencari batu serta merekonstruksi dua candi perwara di kompleks Candi Gedongsongo yang tingginya berkisar 3,5 hingga 4 meter dengan lebar sekitar 2,8 meter.
Lokasi sekitar candi itu cukup sunyi, hanya sesekali wisatawan berkunjung ke candi utama yang berjarak sekitar 200 meter dari bangunan candi yang tengah mereka kerjakan.
Ketika awal hendak membongkar tumpukan batuan candi itu, Wagiyo dan rekan-rekannya menemukan pripih dari batu putih yang ternyata berisi puluhan lempeng emas, lingga terbuat dari emas, dan yoni perak. Temuan itu langsung dilaporkannya ke Kantor BP3 Jateng.
Begitu pula saat menemukan pripih dan empat kendil saat membongkar candi perwara yang kedua di kompleks yang sama. Namun, semua temuan itu tidak sampai menghambat tugas merekonstruksi candi. Satu candi sudah hampir rampung dan satu lainnya selasarnya juga nyaris mereka selesaikan.
Candi longsor
Laki-laki lulusan sekolah teknik atau setara dengan sekolah menengah pertama itu mulai bergabung dengan BP3 pada tahun 1977, beberapa bulan setelah dia lulus sekolah. Pada hari pertama bekerja, Wagiyo langsung turut merekonstruksi Candi Brahma di kompleks Candi Prambanan.
Ayah dari tiga anak itu bercerita, pada awal bekerja dia sempat merasa sangat bingung untuk merekonstruksi atau menyesuaikan batu-batuan candi. Namun, justru karena kebingungan itulah Wagiyo menjadi tidak malu-malu bertanya kepada siapa saja.
Kebingungan itu juga yang membuat dia ”penasaran” dan berusaha mencoba dua keahlian dalam merekonstruksi candi, yakni mencari batu dan menyambung atau menyetel batu itu menjadi candi.
Mencari batu yang cocok bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebab, Wagiyo harus mengetahui ornamen dan bentuk batu yang dimaksud. Rekonstruksi Candi Brahma itu berlangsung dari tahun 1977 hingga 1982.
”Pengerjaannya lama karena candinya juga besar. Tinggi Candi Brahma itu 37 meter, sedangkan lebar dasarnya sekitar 20 meter. Jangan juga dibayangkan suasana di sekitar candi itu sudah seperti sekarang. Dahulu, Candi Brahma masih berada di tengah perkampungan penduduk,” kenang Wagiyo.
Di antara deretan pengalaman merekonstruksi candi, Wagiyo mengakui, perbaikan Candi Selogriyo termasuk yang memberi kesan mendalam dan menantang. Candi Hindu yang diperkirakan dibangun abad ke-9 itu rusak parah akibat longsor akhir tahun 1998. Saat hujan deras, dua pertiga bagian candi berketinggian 15 meter itu turut longsor dari ketinggian 11 meter. Untuk merekonstruksi candi itu dibutuhkan waktu hingga lima tahun.
”Batu yang longsor itu bercampur dengan tanah yang gembur dan menjadi kubangan lumpur, dibutuhkan waktu dua tahun hanya untuk mengumpulkan lagi batu-batunya. Kami sampai harus berkubang di lumpur sebatas perut, meraba batu pakai kaki dulu, lalu lumpur disingkirkan dengan ember,” ungkap Wagiyo.
Campursari radio
Wagiyo mengaku mendapatkan begitu banyak pengalaman menarik selama bertugas. Dia menjadi tahu persis lokasi-lokasi candi di berbagai daerah di Jateng. Kesepian, hujan, dingin, dan panas sudah menjadi teman sehari-hari.
Bahkan, semua itu menjadikan dia selalu punya cara menyiasatinya. Wagiyo antara lain selalu membawa radio butut yang bisa menangkap siaran lagu-lagu campursari. Suara dari radio, selain mengusir kesunyian, juga membuat dia terhibur.
”Sekali ini saya lupa bawa radio. Jadilah beli radio Rp 35.000, buatan China,” ungkapnya tentang radio yang dia gantung di antara bambu penyangga candi, memperdengarkan lagu Caping Gunung dari stasiun radio lokal Kota Salatiga.
Ada pula pengalaman yang menyedihkan. Wagiyo sulit memantau perkembangan anak-anaknya. Pernah, ketika dia bertugas di Trowulan akhir tahun 1980, kaki anak pertamanya terkena peluru senapan angin. Dia baru mengetahui hal itu karena tak ada orang setibanya di rumah. Para tetangga yang memberi tahu bahwa anaknya tengah dioperasi untuk mengeluarkan peluru senapan angin.
”Rasanya hati saya gelo sekali,” katanya.
Meski upah yang diterimanya tidak terlampau besar dan menuntut pengabdian, Wagiyo mengaku sudah begitu menikmati pekerjaan ini. Dia bahagia bergumul dengan batu-batu candi dan membuat generasi muda bisa menikmati hasil rekonstruksi masa lampau….
Biodata
• Nama: Wagiyo
• Lahir: Klaten, Jawa Tengah, 28 Oktober 1958
• Istri: Ngatinem (50)
• Anak: - Giyanto (27) - Hariyadi (22) - Eny Widjiastuti (15)
• Pendidikan: Sekolah Teknik (setara SMP) di Kebonanom, Klaten, Jateng, lulus 1977
• Penghargaan: Pengabdian 25 Tahun dari Presiden RI
0 komentar:
Posting Komentar
isi komentar