Sudah 32 tahun Wagiyo mengabdi sebagai petugas teknis lapangan di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Hampir tanpa henti, dia berkeliling mencari batuan candi, memilah, dan merekonstruksinya kembali. Tuntutan pekerjaan dan pengabdian itu membuat dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama batu candi ketimbang keluarga.
Wagiyo terbilang tukang senior dalam tim rekonstruksi. Dia biasanya bertugas ganda, sebagai pencari batu sekaligus pemasang atau penyetel batu candi. Dia bertugas menyusun candi sesuai dengan gambar yang diberikan.
Jika ada bagian candi yang tidak berhasil ditemukan, Wagiyo juga yang harus memutar otak membentuk tiruan bagian itu dari batu cadas. Keahlian Wagiyo inilah yang menurut Pengawas Teknis Subkelompok Kerja Pemugaran Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, Gunawan, membuat figur Wagiyo menjadi istimewa.
”Tidak semua pencari batu bisa memasang atau merekonstruksi batu menjadi candi. Sebaliknya, tidak semua pemasang batu bisa mencari batu. Tetapi Wagiyo bisa melakukan keduanya. Bahkan di antara petugas senior, dialah yang paling mumpuni,” kata Gunawan, atasan langsung Wagiyo.
Keistimewaan itu pula yang membuat tenaga Wagiyo dibutuhkan di berbagai tempat. Dia sudah dipercaya merekonstruksi Candi Brahma (Prambanan), Sojiwan dan Sewu di Klaten; Kolam Jolotundo, peninggalan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Dia pula yang mengerjakan perbaikan Candi Plaosan Lor di Klaten, perbaikan Candi Selogriyo di Kabupaten Magelang, Candi Arjuna di Dieng, Candi Ngempon di Kabupaten Semarang, perbaikan stupa Candi Sewu yang rusak akibat gempa bumi, Candi Klero di Kabupaten Semarang, Candi Setyaki di Dieng, dan Candi Perwara di Gedongsongo, Kabupaten Semarang.
Pengerjaan itu biasanya dilakukan terus-menerus sehingga tidak jarang dalam satu bulan Wagiyo hanya sempat bertemu dengan keluarganya tidak lebih dari dua malam. Sisa waktunya dihabiskan bermalam di sekitar candi, kadang Wagiyo juga tidur di barak pekerja atau di kantor proyek.
Begitu pula saat ditemui di candi perwara yang pertama, kompleks keempat Candi Gedongsongo di kawasan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jateng, akhir bulan lalu. Wagiyo bercerita, sudah lebih dari sebulan dia belum bisa pulang ke rumahnya di Kabupaten Klaten.
Sejak 24 Februari 2009, dia bersama belasan rekannya bertugas mencari batu serta merekonstruksi dua candi perwara di kompleks Candi Gedongsongo yang tingginya berkisar 3,5 hingga 4 meter dengan lebar sekitar 2,8 meter.
Lokasi sekitar candi itu cukup sunyi, hanya sesekali wisatawan berkunjung ke candi utama yang berjarak sekitar 200 meter dari bangunan candi yang tengah mereka kerjakan.
Ketika awal hendak membongkar tumpukan batuan candi itu, Wagiyo dan rekan-rekannya menemukan pripih dari batu putih yang ternyata berisi puluhan lempeng emas, lingga terbuat dari emas, dan yoni perak. Temuan itu langsung dilaporkannya ke Kantor BP3 Jateng.
Begitu pula saat menemukan pripih dan empat kendil saat membongkar candi perwara yang kedua di kompleks yang sama. Namun, semua temuan itu tidak sampai menghambat tugas merekonstruksi candi. Satu candi sudah hampir rampung dan satu lainnya selasarnya juga nyaris mereka selesaikan.
Candi longsor
Laki-laki lulusan sekolah teknik atau setara dengan sekolah menengah pertama itu mulai bergabung dengan BP3 pada tahun 1977, beberapa bulan setelah dia lulus sekolah. Pada hari pertama bekerja, Wagiyo langsung turut merekonstruksi Candi Brahma di kompleks Candi Prambanan.
Ayah dari tiga anak itu bercerita, pada awal bekerja dia sempat merasa sangat bingung untuk merekonstruksi atau menyesuaikan batu-batuan candi. Namun, justru karena kebingungan itulah Wagiyo menjadi tidak malu-malu bertanya kepada siapa saja.
Kebingungan itu juga yang membuat dia ”penasaran” dan berusaha mencoba dua keahlian dalam merekonstruksi candi, yakni mencari batu dan menyambung atau menyetel batu itu menjadi candi.
Mencari batu yang cocok bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebab, Wagiyo harus mengetahui ornamen dan bentuk batu yang dimaksud. Rekonstruksi Candi Brahma itu berlangsung dari tahun 1977 hingga 1982.
”Pengerjaannya lama karena candinya juga besar. Tinggi Candi Brahma itu 37 meter, sedangkan lebar dasarnya sekitar 20 meter. Jangan juga dibayangkan suasana di sekitar candi itu sudah seperti sekarang. Dahulu, Candi Brahma masih berada di tengah perkampungan penduduk,” kenang Wagiyo.
Di antara deretan pengalaman merekonstruksi candi, Wagiyo mengakui, perbaikan Candi Selogriyo termasuk yang memberi kesan mendalam dan menantang. Candi Hindu yang diperkirakan dibangun abad ke-9 itu rusak parah akibat longsor akhir tahun 1998. Saat hujan deras, dua pertiga bagian candi berketinggian 15 meter itu turut longsor dari ketinggian 11 meter. Untuk merekonstruksi candi itu dibutuhkan waktu hingga lima tahun.
”Batu yang longsor itu bercampur dengan tanah yang gembur dan menjadi kubangan lumpur, dibutuhkan waktu dua tahun hanya untuk mengumpulkan lagi batu-batunya. Kami sampai harus berkubang di lumpur sebatas perut, meraba batu pakai kaki dulu, lalu lumpur disingkirkan dengan ember,” ungkap Wagiyo.
Campursari radio
Wagiyo mengaku mendapatkan begitu banyak pengalaman menarik selama bertugas. Dia menjadi tahu persis lokasi-lokasi candi di berbagai daerah di Jateng. Kesepian, hujan, dingin, dan panas sudah menjadi teman sehari-hari.
Bahkan, semua itu menjadikan dia selalu punya cara menyiasatinya. Wagiyo antara lain selalu membawa radio butut yang bisa menangkap siaran lagu-lagu campursari. Suara dari radio, selain mengusir kesunyian, juga membuat dia terhibur.
”Sekali ini saya lupa bawa radio. Jadilah beli radio Rp 35.000, buatan China,” ungkapnya tentang radio yang dia gantung di antara bambu penyangga candi, memperdengarkan lagu Caping Gunung dari stasiun radio lokal Kota Salatiga.
Ada pula pengalaman yang menyedihkan. Wagiyo sulit memantau perkembangan anak-anaknya. Pernah, ketika dia bertugas di Trowulan akhir tahun 1980, kaki anak pertamanya terkena peluru senapan angin. Dia baru mengetahui hal itu karena tak ada orang setibanya di rumah. Para tetangga yang memberi tahu bahwa anaknya tengah dioperasi untuk mengeluarkan peluru senapan angin.
”Rasanya hati saya gelo sekali,” katanya.
Meski upah yang diterimanya tidak terlampau besar dan menuntut pengabdian, Wagiyo mengaku sudah begitu menikmati pekerjaan ini. Dia bahagia bergumul dengan batu-batu candi dan membuat generasi muda bisa menikmati hasil rekonstruksi masa lampau….
Biodata
• Nama: Wagiyo
• Lahir: Klaten, Jawa Tengah, 28 Oktober 1958
• Istri: Ngatinem (50)
• Anak: - Giyanto (27) - Hariyadi (22) - Eny Widjiastuti (15)
• Pendidikan: Sekolah Teknik (setara SMP) di Kebonanom, Klaten, Jateng, lulus 1977
• Penghargaan: Pengabdian 25 Tahun dari Presiden RI
Arkeologi, Jembatan Masa Lalu
Kasus perusakan situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, telah menyayat hati para arkeolog. Dari kasus itu, kita baru tersadar kalau arkeologi sudah dipinggirkan, ditinggalkan generasi muda, dan sistem masyarakat kita sudah abai terhadap masa lalu.
Bagi para arkeolog, artefak atau benda-benda arkeologi peninggalan masa lalu bukanlah seonggok materi yang bisu. Dari artefak, kita bisa ”terhubung” ke masa lalu Nusantara. Karena itu, tak sembarang orang bisa menyentuh, memindahkan, apalagi menggali situs arkeologi.
Lewat keterampilan para arkeolog, identitas atau jati diri kita bisa diungkap. Begitu besar peran arkeolog dalam memastikan ”kita ini sebagai bangsa apa”, tetapi begitu rendah kita memberi penghargaan kepada ilmu mereka.
”Hasil penelitian arkeologi bukan sekadar rekomendasi pariwisata. Arkeologi bisa menentukan identitas kebangsaan kita, bahkan arkeologi bisa mengubah sejarah,” kata arkeolog Bambang Budi Utomo yang ditemui Senin (12/1) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta.
Bambang dikenal sebagai arkeolog yang meneliti berbagai situs di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan juga Semenanjung Tanah Melayu, seperti di Malaysia dan Thailand selatan. Ia menggeluti sejarah Sriwijaya sekaligus menekuni sejarah Hindu-Buddha di Nusantara.
Sejak menggeluti arkeologi tahun 1975, hingga 2007 dia telah meneliti sekurangnya 66 situs peninggalan arkeologi.
Salah satu penelitiannya mengungkap penemuan candi dan permukiman di wilayah Sumsel dan Jambi yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-8 sampai ke-12 Masehi. Publikasinya tentang Sriwijaya dan Hindu-Buddha menjadi pengimbang dari wacana yang ”Majapahit centris”.
Jika mau ”membaca” masa lalu, kita akan terkejut karena keperkasaan masa lalu kita bukan hanya di era Majapahit atau Sriwijaya. Artefak yang ditemukan bisa membukakan mata bahwa kita punya pengaruh kuat pada masa lalu, tidak hanya di luasnya jajahan, tetapi juga di bidang seni.
”Hal yang sering dilupakan adalah peran Sailendra pada abad ke-8 dan ke-9. Pengaruhnya besar di pengembangan seni. Pada abad itu, muncul gaya seni Sailendra yang bisa ditemukan mulai dari Jawa, Sumatera, hingga Thailand selatan,” kata Bambang.
Di Jawa, gaya seni Sailendra bisa dilihat pada Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sewu, dan banyak lagi. Bahkan, Angkor Wat di Kamboja mendapat gaya seni Sailendra.
Terkuak pula, inspirasi penyatuan Nusantara tidak cuma datang dari era Majapahit. ”Dari prasasti Camundi di Trowulan, Raja Singhasari, Kertanegara, pernah mendeklarasikan kesatuan Dwipantara untuk menghadapi tentara Mongol, bagi saya deklarasi ini lebih eksplisit,” katanya.
Sering terlupakan
Terkadang karena isinya, temuan prasasti bisa mengubah sejarah. Namun, keberadaannya sering disepelekan. ”Ada satu prasasti yang bisa mengubah sejarah, yaitu prasasti Raja Sankhara, tetapi prasasti itu kini tak tahu di mana,” katanya.
Sejarah yang dimaksud terkait anggapan adanya dua dinasti di Jawa Tengah pada abad ke-8, yaitu Sailendra yang beragama Buddha dan Sanjaya yang beragama Hindu. Prasasti Raja Sankhara yang konon ditemukan di daerah Sragen, dan diperkuat Prasasti Sojomerto yang ditemukan di daerah Pekalongan, merevisi pendapat itu. Di Jateng hanya ada satu dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Sailendra.
Tahun 1980-an prasasti itu ada di Museum Adam Malik di Jalan Diponegoro, Jakarta. Namun, kini, kata Bambang, koleksi itu tak diketahui keberadaannya sejak museum ditutup sekitar tahun 2004.
Peninggalan masa lalu juga bisa mengungkap identitas kita. ”Kita ini sebenarnya bangsa agraris atau bangsa maritim?” tanyanya.
Kita termasuk rumpun Austronesia yang umumnya punya kesamaan: kepandaian menyeberangi lautan, pengetahuan agraris yang memadai, dan juga kemampuan membuat tembikar. ”Kita bangsa maritim yang juga agraris, tetapi maritimnya sering dilupakan,” katanya.
Apalagi saat penjajahan Belanda dengan politik tanam paksa telah memaksa penduduk melupakan laut. Nelayan pun dipaksa bertanam di darat. ”Tujuannya untuk melemahkan kekuatan laut kita,” katanya.
Padahal, dulu Demak punya angkatan laut kuat sampai berani menyerang Portugis di Malaka. ”Di era Orde Baru, kita didorong mengerjakan sawah. Memang berhasil, tetapi akhirnya kita lupa dengan laut,” katanya.
Generasi muda
Apakah pengungkapan identitas bangsa yang setengah-setengah ini akibat karena sedikitnya peninggalan tertulis? ”Prasastinya banyak, tetapi para ahlinya sedikit, regenerasi pembaca prasasti ini tak ada, hanya satu-dua orang yang menguasai,” kata Bambang.
Generasi muda kita sebenarnya tetap bisa didorong agar mencintai arkeologi. Namun, persoalannya biasanya buntu pada pertanyaan: ke mana bekerja setelah lulus? ”Sampai sekarang kami tak bisa menjawab pertanyaan ini, instansi arkeologi kini tak lagi ada penambahan tenaga,” katanya.
Kasus perusakan situs di Trowulan berimplikasi besar pada persepsi generasi muda terhadap peninggalan arkeologi. ”Dampaknya besar karena perusakan diindikasikan dilakukan oleh pemerintah,” katanya.
Untuk menghindari kasus serupa, peneliti sudah tak zamannya lagi bekerja seperti ”kucing berak”. Menggali, kemudian menimbun diam-diam. ”Peneliti harus bicara dengan masyarakat, harus memberi penyadaran masyarakat sekitar tentang nilai penting penelitian kita.”
Diakuinya, komunikasi antara peneliti arkeologi dengan masyarakat dan juga kebijakan pembangunan sering tidak jalan. Misalnya, membangun jalan harusnya ada analisis mengenai dampak lingkungan yang berkaitan dengan arkeologi. ”Namun sering arkeolog tidak diajak,” katanya.
Akibatnya, atas nama pembangunan, kepentingan arkeologi jadi terlupakan. Ketamakan pembangunan dengan sengaja telah meruntuhkan satu-satunya jembatan untuk berkomunikasi dengan masa lalu Indonesia.
Sumber : Kompas Cetak
Bagi para arkeolog, artefak atau benda-benda arkeologi peninggalan masa lalu bukanlah seonggok materi yang bisu. Dari artefak, kita bisa ”terhubung” ke masa lalu Nusantara. Karena itu, tak sembarang orang bisa menyentuh, memindahkan, apalagi menggali situs arkeologi.
Lewat keterampilan para arkeolog, identitas atau jati diri kita bisa diungkap. Begitu besar peran arkeolog dalam memastikan ”kita ini sebagai bangsa apa”, tetapi begitu rendah kita memberi penghargaan kepada ilmu mereka.
”Hasil penelitian arkeologi bukan sekadar rekomendasi pariwisata. Arkeologi bisa menentukan identitas kebangsaan kita, bahkan arkeologi bisa mengubah sejarah,” kata arkeolog Bambang Budi Utomo yang ditemui Senin (12/1) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta.
Bambang dikenal sebagai arkeolog yang meneliti berbagai situs di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan juga Semenanjung Tanah Melayu, seperti di Malaysia dan Thailand selatan. Ia menggeluti sejarah Sriwijaya sekaligus menekuni sejarah Hindu-Buddha di Nusantara.
Sejak menggeluti arkeologi tahun 1975, hingga 2007 dia telah meneliti sekurangnya 66 situs peninggalan arkeologi.
Salah satu penelitiannya mengungkap penemuan candi dan permukiman di wilayah Sumsel dan Jambi yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-8 sampai ke-12 Masehi. Publikasinya tentang Sriwijaya dan Hindu-Buddha menjadi pengimbang dari wacana yang ”Majapahit centris”.
Jika mau ”membaca” masa lalu, kita akan terkejut karena keperkasaan masa lalu kita bukan hanya di era Majapahit atau Sriwijaya. Artefak yang ditemukan bisa membukakan mata bahwa kita punya pengaruh kuat pada masa lalu, tidak hanya di luasnya jajahan, tetapi juga di bidang seni.
”Hal yang sering dilupakan adalah peran Sailendra pada abad ke-8 dan ke-9. Pengaruhnya besar di pengembangan seni. Pada abad itu, muncul gaya seni Sailendra yang bisa ditemukan mulai dari Jawa, Sumatera, hingga Thailand selatan,” kata Bambang.
Di Jawa, gaya seni Sailendra bisa dilihat pada Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sewu, dan banyak lagi. Bahkan, Angkor Wat di Kamboja mendapat gaya seni Sailendra.
Terkuak pula, inspirasi penyatuan Nusantara tidak cuma datang dari era Majapahit. ”Dari prasasti Camundi di Trowulan, Raja Singhasari, Kertanegara, pernah mendeklarasikan kesatuan Dwipantara untuk menghadapi tentara Mongol, bagi saya deklarasi ini lebih eksplisit,” katanya.
Sering terlupakan
Terkadang karena isinya, temuan prasasti bisa mengubah sejarah. Namun, keberadaannya sering disepelekan. ”Ada satu prasasti yang bisa mengubah sejarah, yaitu prasasti Raja Sankhara, tetapi prasasti itu kini tak tahu di mana,” katanya.
Sejarah yang dimaksud terkait anggapan adanya dua dinasti di Jawa Tengah pada abad ke-8, yaitu Sailendra yang beragama Buddha dan Sanjaya yang beragama Hindu. Prasasti Raja Sankhara yang konon ditemukan di daerah Sragen, dan diperkuat Prasasti Sojomerto yang ditemukan di daerah Pekalongan, merevisi pendapat itu. Di Jateng hanya ada satu dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Sailendra.
Tahun 1980-an prasasti itu ada di Museum Adam Malik di Jalan Diponegoro, Jakarta. Namun, kini, kata Bambang, koleksi itu tak diketahui keberadaannya sejak museum ditutup sekitar tahun 2004.
Peninggalan masa lalu juga bisa mengungkap identitas kita. ”Kita ini sebenarnya bangsa agraris atau bangsa maritim?” tanyanya.
Kita termasuk rumpun Austronesia yang umumnya punya kesamaan: kepandaian menyeberangi lautan, pengetahuan agraris yang memadai, dan juga kemampuan membuat tembikar. ”Kita bangsa maritim yang juga agraris, tetapi maritimnya sering dilupakan,” katanya.
Apalagi saat penjajahan Belanda dengan politik tanam paksa telah memaksa penduduk melupakan laut. Nelayan pun dipaksa bertanam di darat. ”Tujuannya untuk melemahkan kekuatan laut kita,” katanya.
Padahal, dulu Demak punya angkatan laut kuat sampai berani menyerang Portugis di Malaka. ”Di era Orde Baru, kita didorong mengerjakan sawah. Memang berhasil, tetapi akhirnya kita lupa dengan laut,” katanya.
Generasi muda
Apakah pengungkapan identitas bangsa yang setengah-setengah ini akibat karena sedikitnya peninggalan tertulis? ”Prasastinya banyak, tetapi para ahlinya sedikit, regenerasi pembaca prasasti ini tak ada, hanya satu-dua orang yang menguasai,” kata Bambang.
Generasi muda kita sebenarnya tetap bisa didorong agar mencintai arkeologi. Namun, persoalannya biasanya buntu pada pertanyaan: ke mana bekerja setelah lulus? ”Sampai sekarang kami tak bisa menjawab pertanyaan ini, instansi arkeologi kini tak lagi ada penambahan tenaga,” katanya.
Kasus perusakan situs di Trowulan berimplikasi besar pada persepsi generasi muda terhadap peninggalan arkeologi. ”Dampaknya besar karena perusakan diindikasikan dilakukan oleh pemerintah,” katanya.
Untuk menghindari kasus serupa, peneliti sudah tak zamannya lagi bekerja seperti ”kucing berak”. Menggali, kemudian menimbun diam-diam. ”Peneliti harus bicara dengan masyarakat, harus memberi penyadaran masyarakat sekitar tentang nilai penting penelitian kita.”
Diakuinya, komunikasi antara peneliti arkeologi dengan masyarakat dan juga kebijakan pembangunan sering tidak jalan. Misalnya, membangun jalan harusnya ada analisis mengenai dampak lingkungan yang berkaitan dengan arkeologi. ”Namun sering arkeolog tidak diajak,” katanya.
Akibatnya, atas nama pembangunan, kepentingan arkeologi jadi terlupakan. Ketamakan pembangunan dengan sengaja telah meruntuhkan satu-satunya jembatan untuk berkomunikasi dengan masa lalu Indonesia.
Sumber : Kompas Cetak
Date: Kamis, 09 April 2009
Label: arkeologi
Label: arkeologi
Kerangka Pria Purba Berumur 4000 Ditemukan
DUSHANBE, KOMPAS.com - Suatu penemuan unik arkeologi terjadi di kaki gunung dekat desa tua Tajikistan, Tudakavsh, di daerah Kulyab, di tenggara negara tersebut.
Menurut media massa Tajikistan seperti dikutip kantor berita ISAR TASS, dilaporkan sekelompok penduduk menemukan kerangka seorang pria purba yang terawat baik, ketika mereka sedang menggali tanah.
Para pakar mengatakan, kerangka tersebut paling tidak berumur 4000 tahun. Pria tersebut punya tinggi badan sekitar dua meter. Pada salah satu tulang jarinya terdapat sebuah cincin yang berbentuk luar biasa.
Rektor Universitas Kulyab, Karimdjon Kodiri dan para mahasiswanya dari jurusan arkeologi masa depan telah menyaksikan lokasi di mana kerangka itu ditemukan.
Setelah melakukan penggalian awal, mereka menemukan beberapa guci-guci tanah liat tak jauh dari tempat kerangka itu.
Setelah kerangka itu diteliti, posturnya seperti bertiarap tidak seperti biasanya orang-orang purba dikebumikan. Menurut para pakar, orang purba tersebut meninggal dalam perang.
Kepala departemen arkeologi pada Institut Sejarah. Arkeologi dan Etnografi Akademi Sains Nasional, Yusuf Yakubov, mengatakan kepada Itar-Tass bahwa dia tidak bisa menyimpulkan kerangka manusia purba itu, kecuali penemuan artifak-artifak di dekatnya barangkali berada dari Zaman Perunggu, atau sekitar 2.500 tahun sebelum Masehi.
"Di kawasan Kulyab, di mana kami sejak lama mengadakan penggalian arkeologi menemukan beberapa artifak dan monumen dari Zaman Perunggu, termasuk tempat makam dan pemukiman," kata pakar itu.
"Beberapa kerangka juga ditemukan, tetapi yang sebaik penemuan itu barangkali pertama kalinya terjadi," ujarnya.
Yakubov mengatakan, suatu ekspedisi akan dikirimkan ke desa Tudakavsh untuk mempelajari situs di mana kerangka itu ditemukan, dengan penelitian lebih rinci.
Tajikistan dikenal mempunyai berbagai monumen arkeologi besar di di dunia, seperti pemukiman Pendzhikent, Takhti-Sangin, dan biara Budha Adjina-Tepa, dengan patung Budhanya dari lempung setinggi 14 meter, yang disebut Budha di Nirwana.
BNJ
Sumber : Antara
Menurut media massa Tajikistan seperti dikutip kantor berita ISAR TASS, dilaporkan sekelompok penduduk menemukan kerangka seorang pria purba yang terawat baik, ketika mereka sedang menggali tanah.
Para pakar mengatakan, kerangka tersebut paling tidak berumur 4000 tahun. Pria tersebut punya tinggi badan sekitar dua meter. Pada salah satu tulang jarinya terdapat sebuah cincin yang berbentuk luar biasa.
Rektor Universitas Kulyab, Karimdjon Kodiri dan para mahasiswanya dari jurusan arkeologi masa depan telah menyaksikan lokasi di mana kerangka itu ditemukan.
Setelah melakukan penggalian awal, mereka menemukan beberapa guci-guci tanah liat tak jauh dari tempat kerangka itu.
Setelah kerangka itu diteliti, posturnya seperti bertiarap tidak seperti biasanya orang-orang purba dikebumikan. Menurut para pakar, orang purba tersebut meninggal dalam perang.
Kepala departemen arkeologi pada Institut Sejarah. Arkeologi dan Etnografi Akademi Sains Nasional, Yusuf Yakubov, mengatakan kepada Itar-Tass bahwa dia tidak bisa menyimpulkan kerangka manusia purba itu, kecuali penemuan artifak-artifak di dekatnya barangkali berada dari Zaman Perunggu, atau sekitar 2.500 tahun sebelum Masehi.
"Di kawasan Kulyab, di mana kami sejak lama mengadakan penggalian arkeologi menemukan beberapa artifak dan monumen dari Zaman Perunggu, termasuk tempat makam dan pemukiman," kata pakar itu.
"Beberapa kerangka juga ditemukan, tetapi yang sebaik penemuan itu barangkali pertama kalinya terjadi," ujarnya.
Yakubov mengatakan, suatu ekspedisi akan dikirimkan ke desa Tudakavsh untuk mempelajari situs di mana kerangka itu ditemukan, dengan penelitian lebih rinci.
Tajikistan dikenal mempunyai berbagai monumen arkeologi besar di di dunia, seperti pemukiman Pendzhikent, Takhti-Sangin, dan biara Budha Adjina-Tepa, dengan patung Budhanya dari lempung setinggi 14 meter, yang disebut Budha di Nirwana.
BNJ
Sumber : Antara
Date:
Label: prasejarah
Label: prasejarah
Ingin Tahu Bau Parfum Cleopatra?
Selama ini Ratu Mesir Cleopatra tersohor dengan kecantikannya. Bagaimana dengan wangi tubuhnya? Seperti apa kira-kira bau parfumnya tak ada yang tahu pasti.
Untuk pertama kalinya, para ilmuwan akan merekonstruksi parfum yang dipakai ratu Mesir kuno. Target pertama parfum yang dipakai Hatshepsut, ratu Mesir yang berkuasa selama 20 tahun sejak 1479 sebelum Masehi.
Hatshepsut yang dipilih pertama bukan Cleopatra karena di makamnya ditemukan guci logam yang mungkin bekas wadah parfumnya karena bertuliskan nama sang ratu. Tim ilmuwan dari Museum Mesir Universitas Bonn Jerman menemukan residu yang diduga sisa parfum yang mengendap di dasar guci tersebut.
"Jika sukses, ini untuk pertama kalinya parfum Firaun diciptakan kembali," ujar Michael Hoveler Muller, kurator museum. Ia yakin dapat mengungkap kembali bau yang telah hilang selama 3.500 tahun-an karena guci yang dipakai untuk wadah saat ditemukan dalam kondisi baik dan tertutup rapat.
Langkah yang masih dilakukan saat ini adalah menganalisis komposisi bahan-bahan yang dipakai. Parfum tersebut diperkirakan dibuat dari bahan kemenyan yang diimpor dari wilayah yang kini disebut Somalia. Saat itu, kemenyan sangat bernilai dan hanya dipakai di lokasi pemujaan dan kerajaan.
WAH
Sumber : LIVESCIENCE
Untuk pertama kalinya, para ilmuwan akan merekonstruksi parfum yang dipakai ratu Mesir kuno. Target pertama parfum yang dipakai Hatshepsut, ratu Mesir yang berkuasa selama 20 tahun sejak 1479 sebelum Masehi.
Hatshepsut yang dipilih pertama bukan Cleopatra karena di makamnya ditemukan guci logam yang mungkin bekas wadah parfumnya karena bertuliskan nama sang ratu. Tim ilmuwan dari Museum Mesir Universitas Bonn Jerman menemukan residu yang diduga sisa parfum yang mengendap di dasar guci tersebut.
"Jika sukses, ini untuk pertama kalinya parfum Firaun diciptakan kembali," ujar Michael Hoveler Muller, kurator museum. Ia yakin dapat mengungkap kembali bau yang telah hilang selama 3.500 tahun-an karena guci yang dipakai untuk wadah saat ditemukan dalam kondisi baik dan tertutup rapat.
Langkah yang masih dilakukan saat ini adalah menganalisis komposisi bahan-bahan yang dipakai. Parfum tersebut diperkirakan dibuat dari bahan kemenyan yang diimpor dari wilayah yang kini disebut Somalia. Saat itu, kemenyan sangat bernilai dan hanya dipakai di lokasi pemujaan dan kerajaan.
WAH
Sumber : LIVESCIENCE
Date:
Charles Darwin Ternyata Mahasiswa Kaya
LONDON, KOMPAS.com — Satu temuan baru tentang catatan keuangan yang baru dirilis pekan ini menunjukkan bahwa ilmuwan Charles Darwin adalah mahasiswa kaya saat belajar di Universitas Cambridge, Inggris.
Darwin menggambarkan masa mahasiswanya sebagai saat paling menyenangkan dalam hidupnya.
Wartawan BBC Nkem Ifejika melaporkan, berbeda dengan kebanyakan mahasiswa zaman sekarang yang harus hidup irit, masa mahasiswa Darwin sangat menyenangkan. Catatan keuangannya ini ditemukan oleh sejarawan Universitas Cambridge.
Dari catatan itu terlihat dia menjadi pelanggan tetap seorang tukang potong rambut, penjahit, dan membayar uang langganan untuk mencuci baju dan menyemir sepatu. Kamar tempat tinggalnya pun kemungkinan rapi karena dia menyewa tukang cat dan pembersih cerobong asap.
Selain itu, makanan Darwin pun jauh lebih sehat dari mahasiswa zaman sekarang. Dia membayar ekstra-uang kepada universitas untuk mendapat sayuran ditambah lauk-pauk. Namun, ada satu hal yang tidak tercatat dalam buku pengeluaran keuangan Darwin, tidak banyak uang dibelanjakan untuk buku.
Dia memang terkenal tidak suka belajar di Cambridge dan lebih suka aktivitas menembak, naik kuda, dan mengumpulkan serangga. Dan hobi mengumpulkan binatang ini yang menjadi pertanda pekerjaan yang akan dia tekuni di masa depan. Dia kemudian menjadi ilmuwan yang merumuskan dasar teori evolusi.
ONO
Sumber : BBC
Date:
Label: evolusi
Label: evolusi
"Surga Fosil" di Blora Selatan Dijaga Ketat
SELASA, 7 APRIL 2009 | 20:46 WIB
BLORA, KOMPAS.com - Pemerintah Kabupaten Blora, Jawa Tengah, mewaspadai penggalian lahan secara massal untuk menemukan fosil-fosil di kawasan Blora Selatan, terutama di Kecamatan Kradenan. Pemerintah juga bekerja sama dengan Kepolisian Sektor Kradenan untuk mengamankan lokasi dari jaringan pemburu fosil dan benda-benda bersejarah.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora Suntoyo mengatakan hal tersebut di Blora, Senin (6/4). Pernyataan itu terkait temuan fosil gajah purba jenis Elephas dan daun purba di Dukuh Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, akhir Februari, serta temuan gading gajah purba pada awal Januari lalu.
Suntoyo mengatakan, pemerintah melarang masyarakat mencari fosil tanpa izin. Jika ini dilanggar, pencari melanggar Pasal 12 dan 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
"Ia (pelaku) akan terkena sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp 50 juta," katanya.
Camat Kradenan Iwan Setiyarso mengaku kesulitan mengawasi perdagangan fosil dan benda-benda bersejarah berbasis masyarakat. Pasalnya, masyarakat lebih mementingkan nilai ekonomis dibandingkan dengan nilai historis benda-benda tersebut.
Harus dilindungi
Secara terpisah, Kepala Seksi Dokumentasi Museum Geologi Bandung, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral SR Sinung Baskoro mengatakan, kawasan Blora Selatan harus dilindungi. Temuan-temuan fosil yang terjadi belakangan ini menunjukkan kawasan itu sebagai tempat hidup binatang-binatang purba.
"Teori tentang Blora sebagai kawasan endapan fosil yang terbawa dari hulu terpatahkan. Kini teori yang beredar, kawasan itu mempunyai sejarah kehidupan binatang purba di sekitar Bengawan Solo purba," katanya.
Sumber : Kompas Cetak
prasejarah
BLORA, KOMPAS.com - Pemerintah Kabupaten Blora, Jawa Tengah, mewaspadai penggalian lahan secara massal untuk menemukan fosil-fosil di kawasan Blora Selatan, terutama di Kecamatan Kradenan. Pemerintah juga bekerja sama dengan Kepolisian Sektor Kradenan untuk mengamankan lokasi dari jaringan pemburu fosil dan benda-benda bersejarah.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora Suntoyo mengatakan hal tersebut di Blora, Senin (6/4). Pernyataan itu terkait temuan fosil gajah purba jenis Elephas dan daun purba di Dukuh Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, akhir Februari, serta temuan gading gajah purba pada awal Januari lalu.
Suntoyo mengatakan, pemerintah melarang masyarakat mencari fosil tanpa izin. Jika ini dilanggar, pencari melanggar Pasal 12 dan 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
"Ia (pelaku) akan terkena sanksi pidana penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp 50 juta," katanya.
Camat Kradenan Iwan Setiyarso mengaku kesulitan mengawasi perdagangan fosil dan benda-benda bersejarah berbasis masyarakat. Pasalnya, masyarakat lebih mementingkan nilai ekonomis dibandingkan dengan nilai historis benda-benda tersebut.
Harus dilindungi
Secara terpisah, Kepala Seksi Dokumentasi Museum Geologi Bandung, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral SR Sinung Baskoro mengatakan, kawasan Blora Selatan harus dilindungi. Temuan-temuan fosil yang terjadi belakangan ini menunjukkan kawasan itu sebagai tempat hidup binatang-binatang purba.
"Teori tentang Blora sebagai kawasan endapan fosil yang terbawa dari hulu terpatahkan. Kini teori yang beredar, kawasan itu mempunyai sejarah kehidupan binatang purba di sekitar Bengawan Solo purba," katanya.
Sumber : Kompas Cetak
prasejarah
Date:
Label: prasejarah
Label: prasejarah
Darwin Modern
Hanya dua pekan sebelum wafatnya, Charles Darwin menulis makalah singkat mengenai kerang kecil (Sphaerium corneum) yang ditemukan menempel pada kaki kumbang air dalam sebuah kolam di Midlands Inggris. Itulah publikasi terakhirnya. Lelaki yang mengiriminya kumbang tersebut adalah seorang tukang sepatu dan naturalis amatir muda bernama Walter Drawbridge Crick. Si tukang sepatu akhirnya menikah dan dikaruniai putra bernama Harry yang kemudian punya anak bernama Francis. Pada 1953, Francis Crick bersama pemuda AS bernama James Watson menghasilkan temuan yang dengan telak menuju pada pembenaran gemilang hampir semua deduksi Darwin tentang evolusi.
Pembenaran tersebut tidak berasal dari fosil, spesimen makhluk hidup, atau pembedahan organ-organ makhluk hidup. Pembenaran itu berasal dari sebuah buku. Apa yang ditemukan Watson dan Crick adalah bahwa setiap organisme membawa kode kimia penciptaan dirinya di dalam sel tubuhnya sendiri, sebuah teks yang tertulis dalam bahasa yang sama bagi semua kehidupan: kode DNA empat huruf yang sederhana. “Semua makhluk organik yang pernah hidup di bumi ini diturunkan dari sesuatu bentuk primordial yang sama,” tulis Darwin. Jujur saja, dia cuma menebak. Untuk memahami kisah evolusi—baik narasi maupun mekanismenya—para Darwin modern tidak harus menebak. Mereka berpegang pada kitab genetika.
Bayangkan, misalnya, pipit Kepulauan Galápagos yang terkenal. Darwin melihat bahwa bentuk paruhnya berbeda-beda—ada yang lebar dan tebal, ada yang panjang, ada lagi yang kecil dan pendek. Dia menganggap (agak terlambat) bahwa walaupun paruhnya berbeda-beda, seluruh pipit Galápagos berkerabat dekat. “Melihat gradasi dan keragaman struktur dalam sekelompok kecil burung yang berkerabat,” tulisnya dalam The Voyage of the Beagle, “orang dapat memutuskan bahwa dari sejumlah kecil burung asli di kepulauan ini, satu spesies berkembang dan berubah untuk mencapai hasil yang berbeda-beda.”
Ini juga tebakan yang bagus. Namun, dengan menganalisis kemiripan kode genetis burung-burung itu, ilmuwan masa kini dapat memastikan bahwa pipit Galápagos memang berasal dari satu spesies asal (burung masa kini yang paling berkerabat dekat dengannya adalah burung Tiaris obscurus).
DNA tidak hanya membenarkan keberadaan evolusi, tetapi juga, pada tingkat yang paling dasar, memperlihatkan bagaimana DNA mengubah bentuk makhluk hidup. Baru-baru ini, Arhat Abzhanov dari Harvard University dan Cliff Tabin dari Harvard Medical School memastikan gen yang bertanggung jawab atas berbagai bentuk paruh tersebut. Gen adalah rangkaian huruf DNA yang tatkala diaktifkan oleh sel akan membuat protein tertentu. Abzhanov dan Tabin menemukan bahwa ketika gen untuk protein bernama BMP4 diaktifkan (ilmuwan menggunakan kata “diekspresikan”) pada rahang yang sedang tumbuh dari seekor embrio pipit, gen itu membuat paruh membesar dan menebal. Gen ini terekspresi paling kuat pada burung pipit tanah (Geospiza magnirostris) yang menggunakan paruhnya yang kuat untuk memecahkan bebijian besar dan kacang. Pada pipit-pipit lainnya, sebuah gen mengekspresikan protein bernama kalmodulin yang membuat paruh menjadi panjang dan tipis. Gen ini paling aktif pada burung pipit kaktus besar G. conirostris yang menggunakan paruh panjangnya untuk mengorek biji dalam buah kaktus.
Di kelompok pulau yang lain, di lepas Pantai Teluk Florida, tikus pantai berbulu lebih pucat daripada tikus yang hidup di daratan. Warna bulu ini menyamarkan mereka dengan lebih baik di pasir yang pucat: burung hantu, elang, dan burung heron makan lebih banyak tikus yang penyamarannya buruk sehingga tikus yang berbeda bisa berkembang biak. Hopi Hoekstra, juga di Harvard, dan rekan-rekannya melacak perbedaan warna tersebut pada perubahan satu huruf dalam satu gen yang memangkas produksi pigmen dalam bulu. Mutasi itu telah terjadi sejak pulau-pulau pantai itu terbentuk kurang dari 6.000 tahun yang lalu. Gagasan terbesar Darwin adalah bahwa seleksi alam terutama bertanggung jawab untuk keragaman sifat bawaan yang terlihat di antara spesies-spesies yang berkerabat. Sekarang, pada paruh burung pipit dan bulu tikus, kita benar-benar dapat melihat tangan seleksi alam bekerja, membentuk dan mengubah DNA gen dan ekspresinya guna mengadaptasi organisme dengan kondisinya khasnya masing-masing.
Darwin yang berasumsi bahwa evolusi merambat selambat gletser dan hanya dapat diamati dalam catatan fosil, tentu merasa sama senangnya dengan suatu temuan lainnya. Pada burung-burung pipit Galápagos yang sama, para Darwin modern dapat mengamati evolusi terjadi dalam waktu nyata. Pada 1973, Peter dan Rosemary Grant, sekarang di Princeton University, memulai pengamatan tahunan terhadap populasi pipit di pulau kecil Daphne Major di Galápagos. Mereka segera menemukan bahwa pada kenyataannya pipit berevolusi dari tahun ke tahun, saat kondisi pulau itu beralih dari basah ke kering dan basah kembali. Misalnya, Daphne Major awalnya mengamati hanya dua burung pipit tanah yang berbiak secara teratur, salah satunya adalah burung pipit tanah sedang (G. fortis) yang makan bebijian kecil. Ketika kemarau parah melanda pulau itu pada 1977 dan bebijian kecil menjadi langka, burung pipit sedang terpaksa beralih memakan bebijian yang lebih besar dan lebih keras. Burung yang berparuh lebih besar lebih mampu mencari makan dan dapat bertahan hidup untuk menurunkan sifat bawaan itu kepada anaknya.
Perubahan lain terjadi setelah pesaing tiba pada 1982: burung pipit tanah besar (G. magnirostris) yang juga makan bebijian besar yang keras. Selama bertahun-tahun, kedua spesies itu hidup berdampingan dan pada 2002, kedua jenis menjadi sangat berlimpah. Lalu kemarau tiba dan pada 2005 tinggal 13 pipit tanah besar dan 83 pipit tanah sedang yang masih hidup. Yang luar biasa, alih-alih menyesuaikan diri terhadap kemarau dengan makan bebijian yang lebih besar seperti yang dilakukan 28 tahun sebelumnya, pipit sedang yang menyintas mengalami pengecilan ukuran paruh yang mencolok karena saat bersaing dengan sepupu mereka yang lebih besar, pipit sedang berjuang mencari ceruk hidup dengan makan bebijian yang sangat kecil. Burung pipit yang berparuh lebih kecil bukanlah spesies pipit yang baru, tetapi Peter Grant menduga hanya diperlukan beberapa episode semacam itu sampai terbentuk spesies baru yang tidak mau bereproduksi dengan spesies asalnya.
Variasi yang terlihat di antara pipit Galápagos adalah contoh klasik “radiasi adaptif,” setiap spesies berevolusi dari leluhur yang sama untuk mengeksploitasi jenis makanan khusus. Radiasi terkenal lainnya terjadi di sekelompok pulau yang berbeda—pulau-pulau air, bukan tanah. Berbagai danau dan sungai di Great Rift Valley di Afrika dihuni oleh sekitar 2.000 spesies ikan mujair yang telah berevolusi dari beberapa leluhur, sejumlah antaranya hidup pada masa geologi yang singkat. Sebagai contoh, Danau Victoria, danau yang terbesar, baru benar-benar kering pada 15.000 tahun yang lalu. Sejak saat itu, ke-500 spesies mujairnya yang beragam berevolusi dari segelintir spesies yang asal-usulnya tidak diketahui. Seperti burung pipit, ikan mujair telah beradaptasi dengan makanan di habitat yang berbeda, seperti petak berbatu atau berpasir di dasar danau. Beberapa spesies makan ganggang dan memiliki gigi-gigi rapat yang sesuai untuk mengorek dan menarik tumbuhan, sementara spesies lain makan siput dan memiliki rahang tebal kuat yang mampu meremukkan cangkang siput. Gen apa yang bertanggung jawab dalam penebalan rahang itu? Gen untuk protein BMP4—gen yang juga menjadikan paruh pipit Galápagos tebal dan lebar. Apa bukti yang lebih tepat bagi keyakinan Darwin tentang kesamaan semua spesies, selain menemukan gen yang sama melakukan tugas yang sama pada burung dan ikan pada benua yang terpisah?
Dalam The Origin of Species, Darwin dengan bijaksana tidak menyinggung bagaimana teorinya dapat diperluas agar kesamaan juga menyertakan umat manusia. Sepuluh tahun kemudian dia menghadapi masalah itu secara frontal dalam The Descent of Man. Dia tentu akan senang mengetahui bahwa gen tertentu yang bernama FOXP2 sangat penting bagi perkembangan normal kemampuan bicara pada manusia dan kemampuan berkicau pada burung. Pada 2001 Simon Fisher dan rekan-rekannya di University of Oxford menemukan bahwa mutasi dalam gen ini menyebabkan cacat bahasa pada manusia. Dia kemudian memeragakan bahwa pada tikus, gen ini diperlukan untuk mempelajari urutan dari gerakan cepat; tanpanya, otak tak bisa membentuk koneksi-koneksi yang biasanya merekam pembelajaran. Pada manusia, menurut anggapan, FOXP2 penting untuk mempelajari gerakan rumit bibir dan lidah yang kita gunakan untuk mengekspresikan pikiran kita.
Constance Scharff dari Freie Universität Berlin kemudian menemukan bahwa gen yang sama lebih aktif di satu bagian otak pipit zebra muda, persis ketika burung itu belajar berkicau. Dengan kecerdikan yang agak sadis, timnya menginfeksi otak burung pipit dengan virus khusus berisi salinan terbalik sebagian gen FOXP2 yang meredam ekspresi alami gen itu. Hasilnya adalah burung-burung itu bukan saja berkicau lebih menyimpang daripada biasanya, tapi juga tidak bisa meniru kicau burung dewasa dengan tepat—mirip anak manusia yang memiliki gen FOXP2 mutan yang bicaranya lebih kacau dan tidak bisa meniru dengan tepat.
Para Darwin masa kini melihat secara detail bagaimana tekanan seperti persaingan dan perubahan lingkungan dapat membentuk spesies baru. Namun, Darwin juga mengusulkan penggerak evolusi yang lain: seleksi seksual. Di Danau Victoria, penglihatan ikan mujair beradaptasi dengan cahaya di lingkungan sekitar—di tempat yang lebih dalam, di mana cahaya yang tersedia mendekati ujung merah spektrum, reseptor visualnya terbiaskan ke warna merah, sementara semakin dekat permukaan, ikan melihat lebih baik warna biru. Ole Seehausen dari Universität Bern dan Eawag (Institut Federal Ilmu dan Teknologi Akuatik Swiss) menemukan bahwa mujair jantan berevolusi mengembangkan warna-warni yang mencolok untuk menarik perhatian betina: biasanya merah di dekat dasar danau dan biru di tempat yang lebih dangkal. Populasi biru dan merah tampaknya sedang bercabang dalam garis genetika—menyiratkan bahwa keduanya mewakili dua spesies yang tengah berpisah.
Jika seleksi alam adalah "survival of the fittest" (yang paling cocok yang selamat, frasa yang diciptakan oleh filsuf Herbert Spencer, bukan oleh Darwin), maka seleksi seksual adalah yang paling seksi yang bereproduksi. Hal ini membawa efek menarik dalam pembuatan senjata, ornamen, nyanyian, dan warna, terutama pada satwa jantan. Darwin percaya bahwa beberapa ornamen seperti tanduk rusa membantu jantan bertarung memperebutkan betina; sementara yang lainnya seperti ekor merak membantu jantan “memukau” (istilah Darwin) betina agar mau kawin. Sebetulnya, ide itu lahir dari pikiran yang buntu karena Darwin cemas bahwa keindahan yang tanpa guna menjadi pengecualian mencolok bagi cara kerja seleksi alam yang kejam tanpa ampun. Dia menyurati ahli botani Amerika Asa Gray pada April 1860, “Setiap melihat bulu ekor merak, saya merasa mual!”
Konsep Darwin tentang seleksi seksual diabaikan dengan sopan oleh sebagian besar pemikiran zaman Victoria yang merasa tidaklah pantas berpikir bahwa perempuan secara aktif memilih pasangan, alih-alih menerima dengan malu-malu pendekatan lelaki. Bahkan ahli biologi membuang gagasan itu selama kira-kira seabad karena terobsesi dengan pendapat bahwa sifat bawaan berevolusi demi manfaat spesies, bukan individu. Namun, kini kita tahu bahwa Darwin selama ini benar. Pada berbagai spesies, dari ikan dan burung hingga serangga dan katak, betina mendekati jantan yang paling bergaya dan mengajak jantan tersebut kawin.
Darwin tidak banyak membahas tentang mengapa betina memilih jantan yang paling berhias. Ini menjadi pertanyaan yang masih menarik bagi para ahli biologi karena mereka punya dua jawaban yang sama baiknya. Pertama karena kebiasaan semata: ketika betina memilih jantan yang tampan, betina lain harus melakukan yang sama atau terancam punya anak yang tidak menarik bagi betina. Jawaban lainnya lebih subtil. Menumbuhkan ekor itu melelahkan dan berbahaya bagi merak. Ini hanya dapat dilakukan dengan baik oleh jantan yang paling sehat: parasit, kelaparan, dan perawatan yang sembrono akan menghasilkan bulu yang lebih kusam. Jadi, bulu yang cemerlang adalah apa yang disebut para ahli biologi sebagai “indikator kebugaran yang jujur.” Merak yang tak memenuhi standar tidak bisa meniru keindahannya. Dengan demikian, merak betina yang secara naluriah memilih jantan terbaik, tanpa sadar mewariskan gen terbaik kepada anak-anaknya.
Dalam salah satu renungannya, Darwin berpendapat bahwa seleksi seksual mungkin dapat menjelaskan perbedaan ras manusia: “Kita melihat bahwa setiap ras memiliki gaya keindahannya sendiri.… Pemilihan wanita yang lebih menarik oleh pria yang lebih berkuasa dalam setiap suku yang rata-rata meninggalkan jumlah anak yang lebih besar, setelah beberapa generasi berlalu [akan] mengubah karakter suku itu dalam kadar tertentu.” Wasit belum memutuskan perihal gagasan khusus ini, tetapi ada tanda-tanda bahwa Darwin mungkin setidaknya benar sebagian.
Mata biru misalnya. Darwin seperti kebanyakan orang Eropa bermata biru. Pada awal 2008, Hans Eiberg dan rekan-rekannya di Københavns Universitet mengumumkan bahwa mereka menemukan mutasi genetik yang sama pada semua orang yang murni bermata biru. Mutasi itu adalah perubahan satu huruf, dari A menjadi G, pada rantai panjang kromosom 15 yang meredam ekspresi gen bernama OCA2. Gen ini terlibat dalam pembuatan pigmen yang menggelapkan mata. Dengan membandingkan DNA orang Denmark dengan DNA penduduk Turki dan Yordania, Eiberg menghitung bahwa mutasi ini baru terjadi sekitar 6.000-10.000 tahun lalu, lama setelah penemuan pertanian, pada orang-orang tertentu di sekitar Laut Hitam. Jadi, Darwin mungkin mendapatkan mata birunya karena huruf yang salah eja dalam DNA pada bayi seorang petani Neolitikum.
Mengapa perubahan genetik ini menyebar demikian luas? Tidak ada bukti bahwa mata biru membantu orang bertahan hidup. Mungkin sifat bawaan ini berkaitan dengan kulit yang lebih pucat, yang membuat lebih banyak cahaya matahari yang diperlukan untuk sintesis vitamin D masuk. Itu sangat penting karena orang di daerah utara yang kurang cahaya matahari menjadi lebih tergantung pada padi-padian yang kurang mengandung vitamin D sebagai makanan pokok. Di sisi yang lain, orang yang bermata biru mungkin punya anak lebih banyak karena kebetulan lebih menarik bagi lawan jenis di kawasan geografi tersebut. Yang manapun itu, penjelasan tersebut kembali mengarah kepada dua teori Darwin—seleksi alam dan seksual.
Yang Menarik, perubahan ejaan yang menyebabkan mata biru tidaklah terjadi dalam gen pigmen itu sendiri, melainkan pada kutipan kitab DNA di dekatnya yang mengendalikan ekspresi gen tersebut. Ini sejalan dengan ide yang semakin populer dalam biologi evolusi dan genetika: evolusi terjadi tidak hanya dengan mengubah gen, tetapi juga dengan mengubah cara gen tersebut diaktifkan atau dipasifkan. Menurut Sean Carroll dari University of Wisconsin at Madison, “Bahan bakar utama evolusi anatomi ternyata bukan perubahan gen, melainkan perubahan dalam pengaturan gen yang mengendalikan perkembangan.”
Konsep saklar genetik menjelaskan kejutan yang memalukan bahwa manusia ternyata tidak memiliki gen khusus manusia. Dalam dasawarsa terakhir, saat ilmuwan membandingkan genom manusia dengan genom makhluk-makhluk lain, diketahui bahwa kita mewarisi tidak hanya jumlah gen yang sama dengan tikus—kurang dari 21.000—tetapi bahkan sebagian besar gennya sama. Itu sama halnya seperti kita tidak memerlukan kata-kata yang berbeda untuk menulis buku yang berbeda, sehingga gen baru juga tidak diperlukan untuk membuat spesies baru: cukup diubah urutan dan pola penggunaannya.
Mungkin seharusnya lebih banyak ilmuwan yang menyadari hal ini lebih awal. Lagi pula, tubuh tidaklah dirakit seperti mesin di dalam pabrik; tubuh tumbuh dan berkembang, jadi evolusi akan selalu tentang proses pertumbuhan, dibandingkan menentukan hasil akhir pertumbuhan itu. Dengan kata lain, jerapah tidak memiliki gen khusus untuk leher panjang. Gen pertumbuhan lehernya sama dengan yang ada di tikus; tetapi mungkin gen itu diaktifkan untuk waktu yang lebih lama, sehingga akibatnya leher jerapah lebih panjang.
Sebagaimana Darwin menarik pelajaran dari fosil armadillo serta burung rhea dan pipit yang hidup (baca “Petunjuk Pertama Darwin,” halaman 34), para penerus ilmiahnya menggabungkan pengetahuan dari gen dan dari fosil untuk memahami sejarah kehidupan. Pada 2004, Neil Shubin dari University of Chicago dan rekan-rekannya menemukan fosil berumur 375 juta tahun di Arktika Kanada—makhluk yang pas untuk menempati celah antara ikan dan binatang yang hidup di darat. Mereka menyebutnya Tiktaalik yang bermakna “ikan air tawar yang besar” dalam bahasa Inuktitut di daerah itu. Walaupun jelas-jelas merupakan ikan dengan sisik dan sirip, Tiktaalik memiliki kepala pipih ala amfibi dengan leher yang khas dan tulang di dalam siripnya cocok dengan tulang lengan atas, bawah, dan bahkan pergelangan tangan binatang darat: inilah rantai yang hilang, jika memang ada. Satwa tersebut mungkin dapat hidup di air dangkal atau merayap di dalam lumpur saat menghindari pemangsa.
Sama menariknya adalah hal yang diungkap Tiktaalik kepada Shubin dan rekan-rekannya di dalam laboratorium. Gen fosil itu sudah hilang dalam kabut waktu. Namun, terilhami oleh temuan ini, para peneliti tersebut mempelajari penggantinya yang masih hidup—ikan-bertulang primitif yang bernama ikan moncong bebek (Polyodon spathula)—dan menemukan bahwa pola ekspresi gen yang membentuk tulang dalam siripnya sama dengan yang membentuk tungkai pada embrio burung, mamalia, atau satwa darat lainnya. Perbedaannya hanyalah bahwa gen itu diaktifkan lebih singkat pada ikan. Temuan ini menjungkirkan konsep yang lama dipercaya bahwa untuk mendapatkan tungkai perlu peristiwa evolusi yang radikal. “Ternyata perkakas genetis yang diperlukan untuk membuat tungkai sudah ada di sirip,” ujar Shubin. “Hal itu tidak melibatkan pembentukan gen baru dan proses pengembangan. Hal itu melibatkan pemakaian ulang resep genetis lama dalam cara baru.”
Walaupun membenarkan Darwin dalam berbagai cara, genetika modern juga menyoroti kesalahan terbesarnya. Ide Darwin tentang mekanisme pewarisan ternyata kacau—dan salah. Darwin berpendapat bahwa organisme menggabungkan sifat-sifat induknya dan di kemudian dalam kehidupannya, dia mulai meyakini bahwa organisme juga mewariskan sifat yang diperoleh semasa hidupnya. Darwin tidak pernah memahami, seperti pemahaman yang dimiliki pendeta Moravia Gregor Mendel yang sederhana, bahwa organisme sama sekali bukanlah gabungan kedua orang tuanya, melainkan hasil kumpulan dari banyak sekali sifat individu yang diteruskan oleh ayah dan ibunya dari orang tua mereka, dan kakek neneknya. Makalah Mendel yang menerangkan tabiat pewarisan itu diterbitkan pada 1866 dalam sebuah jurnal Moravia yang tak dikenal, hanya tujuh tahun setelah The Origin of Species. Dia mengirimkannya dengan penuh harap kepada beberapa ilmuwan terkemuka saat itu, tetapi tidak berhasil menarik perhatian. Menjadi nasib pendeta itu meninggal bertahun-tahun sebelum orang menghargai nilai penting penemuannya. Namun warisannya, seperti juga warisan Darwin tetap hidup hingga sekarang.
Date: Rabu, 01 April 2009
Label: evolusi, prasejarah
Label: evolusi, prasejarah
Petunjuk Pertama Darwin
Perjalanan Charles Darwin muda di atas HMS (His Majesty’s Ship, kapal milik Kerajaan Inggris) Beagle selama 1831-1836 adalah salah satu yang paling dikenal dan paling dimitoskan dalam sejarah ilmu pengetahuan. Sebagaimana kisah yang ada, Darwin berlayar sebagai naturalis di HMS Beagle, mengunjungi Kepulauan Galápagos di Samudra Pasifik bagian timur, dan di sana melihat kura-kura raksasa dan burung pipit (finch). Banyak spesies pipit dapat dibedakan berdasarkan bentuk paruhnya yang menandakan adaptasi terhadap jenis makanan tertentu. Di tiap-tiap pulau, kura-kura memiliki cangkang yang berbeda bentuknya.
Petunjuk-petunjuk dari Galápagos ini memandu Darwin (apakah segera? Atau lama setelahnya? dalam hal ini cerita mitos tersebut menjadi kurang jelas) menyimpulkan bahwa keanekaragaman hayati di Bumi muncul melalui proses penurunan makhluk hidup yang disertai modifikasi—evolusi, demikian istilahnya sekarang—dan seleksi alam adalah mekanismenya. Darwin menulis buku yang berjudul The Origin of Species dan meyakinkan semua orang, kecuali para pemimpin Gereja Anglikan, bahwa demikianlah adanya.
Penjelasan tersebut tidak sepenuhnya benarah. Cerita bak kartun tentang pengarungan Beagle serta akibatnya itu memang ada benarnya, tetapi kisah itu juga mencampuraduk, memelintir, dan menghilangkan banyak hal. Misalnya, keragaman burung pipit di Galápagos tidaklah sejelas seperti keragaman burung mockingbird atau tenca (Mimus thenca), paling tidak pada awalnya dan Darwin baru mampu memahami perihal burung-burung pipit itu setelah dibantu oleh seorang pakar burung di Inggris.
Persinggahan di Galápagos merupakan anomali singkat menjelang akhir ekspedisi yang tujuan utamanya menyigi garis pantai Amerika Selatan. Darwin ikut di Beagle bukanlah sebagai naturalis resmi; dia adalah lulusan Cambridge berusia 22 tahun yang sedang mengawali karier dengan setengah hati sebagai pendeta desa. Darwin diundang mengikuti pengarungan tersebut sebagai teman makan malam sang kapten, Robert Fitzroy, seorang bangsawan muda yang temperamental. Dengan berjalannya waktu, Darwin memang seolah mengambil peran sebagai naturalis dan menganggap dirinya sebagai seorang naturalis. Namun, teorinya berkembang secara lambat, diam-diam, dan The Origin of Species (judul lengkapnya On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life) baru diterbitkan pada 1859. Selama puluhan tahun setelahnya, banyak ilmuwan, di samping sejumlah pendeta era Victoria, menentang bukti dan argumen evolusi tersebut. Memang, realitas evolusi diterima luas pada masa hidup Darwin, tetapi teorinya Darwin sendiri—dengan seleksi alam sebagai sebab utama—baru diakui sekitar 1940, setelah sukses berpadu dengan genetika.
Selain penjelasan di atas, hal paling menarik yang hilang dari dongeng penyederhanaan itu adalah: petunjuk pertama yang sesungguhnya bagi Darwin ke arah evolusi tidaklah berasal dari Galápagos, tetapi dari tiga tahun sebelumnya di sebuah pantai yang bergelora di pesisir utara Argentina. Petunjuk itu tidak berupa bentuk paruh burung, bahkan bukan makhluk hidup. Petunjuk tersebut adalah sekumpulan fosil. Lupakan saja dulu tentang pipit Darwin. Untuk mendapatkan sudut pandang yang baru tentang pengarungan Beagle, mulailah dari armadillo dan sloth raksasa Darwin.
Pada September 1832, dalam tahun pertama misinya, HMS Beagle melepas sauh di dekat Bahía Blanca, sebuah permukiman di bagian terdalam teluk sekitar 650 kilometer barat daya Buenos Aires. Saat itu Jenderal Rosas sedang melancarkan perang genosida terhadap bangsa Indian dan Bahía Blanca merupakan benteng depan Argentina. Sebagian besar penghuninya tentara. Selama lebih dari sebulan Beagle singgah di kawasan itu, beberapa awaknya sibuk menyigi, yang lain melakukan pekerjaan di darat—menggali sumur, mencari kayu bakar, dan berburu binatang. Lanskap di seputarnya adalah Pampas Argentina yang klasik, padang rumput subur yang berbatasan dengan bukit pasir yang ditahan keberadaannya oleh rerumputan di sepanjang pantai. Para pemburu membawa pulang rusa, agouti (sejenis binatang pengerat, genus Dasyprocta), dan beberapa jenis binatang buruan lain, termasuk beberapa armadillo dan seekor burung yang tidak bisa terbang yang disebut oleh Darwin sebagai “burung unta”. Tentu saja itu bukan burung unta (satwa asli Afrika, dan sebelumnya Timur Tengah); burung itu seekor rhea, tepatnya Rhea americana, bentuknya mirip burung unta tetapi endemik Amerika Selatan dan merupakan burung terberat di benua itu.
“Menu makan malam kami hari ini tentu terdengar sangat aneh di Inggris,” tulis Darwin yang menikmati keeksotisan gaya hidupnya yang baru, dalam catatan hariannya pada 18 September: “Siomai burung unta dan Armadillo.” Dia juga terlibat petualangan yang meriah, bukan hanya kerja lapangan yang biasa tentang sejarah alam, dan buku hariannya selama di kapal (kemudian hari menjadi buku perjalanan berjudul The Voyage of the Beagle) mencerminkan perhatiannya pada budaya, masyarakat, politik, di samping ilmu pengetahuan. Dia mencatat, daging merah dari burung besar mirip daging sapi. Armadillo yang dikuliti cangkangnya terlihat dan terasa seperti daging bebek. Pengalaman makannya di Pampas dan kemudian di Patagonia, di samping menjadi bagian dari tur penemuannya yang lahap, pada akhirnya berperan dalam pemikiran evolusinya.
Beberapa hari setelah itu, pada 22 September 1832, Darwin dan Fitzroy naik perahu kecil untuk mengunjungi sebuah lokasi yang bernama Punta Alta, 16 kilometer dari tempat mereka lego jangkar. Di sana mereka menemukan beberapa singkapan batu yang menjorok ke atas air. “Ini yang pertama yang pernah kulihat,” tulis Darwin, “ dan sangat menarik karena mengandung banyak cangkang dan tulang binatang besar.”
Tak seperti namanya, Punta Alta (“Tanjung Tinggi”) tidaklah terlalu tinggi, tebingnya yang terbuat dari batu lumpur kemerahan hanya sekitar enam meter tingginya. Jikapun tanjung tersebut tidak mengesankan, tidak demikian dengan fosil yang tersingkap di sana: besar, berbentuk aneh-aneh, dan berlimpah. Darwin, dibantu seorang pria, menggali batu yang lunak dengan beliung. Antara sesi tersebut dan upaya-upaya berikutnya, dia memperoleh rangka sembilan mamalia besar dari Punta Alta, semuanya tidak dikenal atau hampir tidak dikenal oleh ilmu pengetahuan. Satwa-satwa adalah raksasa-raksasa Pleistosen yang telah punah, hanya ada di Amerika pada suatu masa sebelum 12.000 tahun silam.
Yang paling terkenal adalah Megatherium, seekor sloth tanah seukuran gajah yang sudah pernah dinamai dan diuraikan oleh ahli anatomi Prancis Georges Cuvier berdasarkan satu set fosil yang ditemukan di Paraguay. Sloth yang hidup zaman sekarang berasal dari Amerika Selatan dan Tengah, dan hanya ada di sana; Megatherium memiliki banyak kesamaan anatomi, tetapi tubuhnya terlalu besar untuk bisa memanjat pohon. Temuan Darwin juga termasuk setidaknya tiga sloth tanah raksasa, sejenis kuda yang sudah punah, dan satu karapaks pelindung yang tersusun atas sisik tulang kecil yang menyatu, sisa-sisa dari seekor binatang besar yang pasti sangat mirip dengan armadillo. Saat itu, Darwin sudah familiar dengan armadillo hidup, telah melahap daging kupas yang rasanya mirip bebek itu bersama siomai burung unta. Dia juga pernah melihat gaucho setempat membunuh armadillo dan memanggangnya dalam cangkangnya. Di antara 20 spesies armadillo yang ada, semuanya hanya ada di Amerika dan beberapa umum ditemui di Pampas; binatang yang dipanggang itu mungkin armadillo bergaris enam (Euphractus sexcinctus) yang banyak terdapat di sana dan terkenal tidak enak, tetapi ini tidak menghalangi para gaucho yang tidak pilih-pilih makanan, yang terkadang makan apa saja selama berminggu-minggu. “Seperti keong, mereka memanggul semua barangnya dan makanan mereka diambil dari sekeliling,” tulis Darwin merujuk kepada para gembala sapi itu, bukan armadillo.
Sebulan kemudian, di pantai 50 kilometer di utara Punta Alta, Darwin menemukan tebing laut kaya-fosil yang lain, tingginya 35 meter dan menandai sebuah tempat bernama Monte Hermoso. Di sana dia menggali sisa-sisa jasad yang membatu dari beberapa makhluk pengerat, yang mengingatkannya kepada agouti, capybara (jenis babi Amerika Selatan), dan tuco-tuco, sejenis binatang pengerat Amerika yang lebih kecil, tetapi lagi-lagi, untuk setiap kasus, antara fosil dan spesies yang ada sekarang sangat mirip tapi tidak identik. Kemudian di pantai Argentina yang lebih jauh ke selatan, dia menggali kerangka mamalia ketiga yang menurut ahli anatomi yang akhirnya memeriksanya, mirip sejenis unta yang sudah punah. Makhluk itu jadi dikenal sebagai Macrauchenia. Keluarga unta termasuk dua spesies liar Amerika Selatan, guanaco dan vicuña, di samping yang jinak, llama dan alpaca. Darwin mengetahui bahwa guanaco hidup di daerah itu karena beberapa hari sebelumnya dia menembak seekor.
Penemuan, analogi, dan jukstaposisi ini terekam dalam ingatan dan imajinasi Darwin dan mengendap sepanjang sisa perjalanan dan beberapa tahun setelahnya. Sementara itu, fosil-fosil tersebut dikemas untuk dikapalkan pulang ke Inggris, sebagian besar ditujukan kepada John Stevens Henslow, ahli botani lembut yang merupakan mentor Darwin di Cambridge.
“Saya beruntung mendapat tulang-tulang fosil,” dia bercerita kepada Henslow melalui surat. Darwin menyebut pengerat besar, sloth tanah, dan bagian sisik tulang berbentuk poligon. Komentarnya tentang yang terakhir: “Begitu melihatnya, saya berpikir bahwa ini pastilah milik seekor armadillo raksasa, spesies hidup yang genusnya sangat banyak di sini.” Darwin menambahkan: “Jika hal ini cukup membuat Anda tertarik untuk membukanya, saya sangat ingin mendengar pendapat Anda tentang fosil-fosil itu.”
Adalah penting untuk tidak melebih-lebihkan bahwa betapa saat itu Darwin mampu mengenali, apa lagi menafsirkan fosil yang ditemukannya. Sebagian besar fosil yang ditemukannya, selain Megatherium, berasal dari binatang yang belum dikenal oleh para pakar, sementara Darwin bukan seorang pakar. Dia bukan ahli anatomi perbandingan seperti Cuvier yang tersohor; dia tidak terlalu tahu tentang mamalia; dan kata “paleontolog” belum digunakan pada masa itu. Darwin memercayakan deskripsi dan identifikasi fosil-fosilnya kepada seorang ahli anatomi muda yang brilian di London bernama Richard Owen, seorang pakar tentang mamalia-punah yang sedang naik daun. Owenlah yang memberi nama kepada sloth tak dikenal itu dan Owen yang mengajukan pendapat (secara keliru, kemudian dikoreksinya sendiri) tentang hubungan antara Macrauchenia dan unta.
Darwin sendiri bukan pakar seperti Owen. Dia hanyalah orang lapangan yang cermat, rakus akan spesimen, dan belajar sambil jalan. Undangan Beagle menyelamatkan Darwin dari masa depan sebagai pendeta desa yang tidak cocok untuknya dan sejak hari-hari pertamanya di atas kapal, dia bekerja dengan rajin dan cepat matang sehingga mampu mengambil (dan kemudian melampaui) peran sebagai naturalis kapal itu. Kualifikasi terbaik Darwin untuk menafsirkan fosil adalah rasa ingin tahunya yang besar, bakatnya akan pengamatan yang cermat, dan naluri bahwa semua hal dalam alam ini entah bagaimana berkaitan satu sama lain. Di samping itu, dia tidak takut berspekulasi dengan berani—sepanjang dilakukannya secara diam-diam.
Datum kecil, tetapi penting lainnya diperoleh Darwin beberapa bulan kemudian, saat Beagle singgah di dekat Patagonia bagian utara dan Darwin menghabiskan waktu di darat bersama sekelompok gaucho lain yang simpatik. Awalnya cuma desas-desus: Para gaucho menyinggung jenis burung unta yang langka, lebih kecil dari yang biasa, kakinya lebih pendek, dan lebih mudah dibunuh dengan bandering mereka, tetapi selain itu serupa. Kemungkinan dalam menemukan burung itu luput dari pikiran Darwin sampai salah satu rekan awak kapalnya menembak “burung unta” yang lebih kecil itu (rhea yang berbeda) untuk diambil dagingnya. Darwin tidak terlalu mengacuhkannya, menganggap burung tersebut masih muda.
“Burung itu sudah selesai dikuliti dan dimasak sebelum aku teringat,” tulis Darwin dalam sebuah catatan yang sangat hidup sehingga kita hampir bisa membayangkan dia menepuk jidatnya. “Namun, kepala, leher, kaki, sayap, banyak dari bulu yang besar, serta sebagian besar kulit telah diawetkan.” Dia menyelamatkan sisa-sisa tersebut dan mengirimkannya ke Inggris. Di sana, potongan-potongan itu dijahit menjadi spesimen yang cukup utuh bagi museum Zoological Society. Ahli ornitologi John Gould yang kelak dikirimi Darwin pipit dan mockingbird Galápagos untuk diidentifikasi, juga pertama kali melihat makhluk ini. Gould memastikan bahwa ini adalah spesies yang berbeda dan menyebutnya Rhea darwinii (nama ini kemudian berubah karena hal teknis taksonomi) berdasarkan nama si lelaki yang menyelamatkannya dari tumpukan sampah.
Yang paling menarik perhatian Darwin tentang kedua spesies rhea tersebut adalah, walaupun keduanya sangat mirip, irisan distribusi geografinya sangat kecil. Rhea besar mendiami Pampas dan Patagonia utara, ke selatan hingga Río Negro di Argentina yang mengalir ke laut pada sekitar 41° lintang selatan; rhea kecil menggantikan yang besar di seberang Río Negro dan mendiami Patagonia selatan. Bersama dengan bukti mamalia Amerika Selatan yang punah, implikasi keanekaragaman dan distribusi rhea sama meyakinkannya bagi Darwin dengan pola yang kemudian ditemukannya di antara burung pipit dan mockingbird Galápagos.
Bagaimana spesies berasal, dan bagaimana sehingga hidup di tempatnya sekarang? Kisah yang umum yang tetap dianut erat oleh ilmu pengetahuan Eropa di saat pengarungan Beagle adalah bahwa Tuhan menciptakan spesies secara sendiri-sendiri, dalam kelompok-kelompok (untuk mengganti yang punah), dan memilih untuk menempatkannya hampir secara sembarang di tempatnya masing-masing—kanguru di Australia, jerapah dan zebra di Afrika, rhea, sloth, dan armadillo di Amerika Selatan, makhluk yang masih hidup dan punah berkumpul dengan erat dalam ruang dan waktu.
Namun bagi Darwin, baik mamalia yang telah punah (bersama jenisnya yang masih hidup di antara sloth dan armadillo) dan kedua jenis rhea (menempati kawasan habitat yang berdampingan) menandakan sesuatu yang lebih rasional: gagasan tentang hubungan dan suksesi di antara spesies yang berkerabat dekat. Sloth pohon dan armadillo yang hidup sekarang sepertinya melanjutkan bentuk sebelumnya, mendiami medan yang kurang-lebih sama dalam kala yang berbeda dalam sejarah Bumi. (Jenis-jenis sloth yang lebih awal itu adalah sloth sejati; makhluk berperisai yang lebih awal itu sekarang dikenal sebagai glyptodont, satu familia yang berbeda tetapi sangat dekat dengan armadillo yang hidup sekarang.)
Kedua rhea, serupa tapi tak sama, kemungkinan adalah keturunan satu sama lain—namun dalam ruang, di sepanjang dimensi horizontal lanskap. Pengelompokan dalam ruang dan waktu seperti itu menunjukkan bahwa setiap kelompok berasal, dengan modifikasi, dari nenek moyang yang sama: rhea dari rhea, sloth dari sloth yang lebih awal, armadillo dari pendahulu yang mirip armadillo atau glyptodont, mungkin jauh lebih besar daripada armadillo yang hidup saat ini. Itulah penjelasan yang menurut Darwin paling tepat, karena agaknya lebih efisien, lebih induktif, dan lebih meyakinkan daripada skenario penciptaan.
Sepenting apa peran data Amerika Selatan itu dalam menggoyahkan keyakinan Darwin terhadap pandangan ortodoks—meyakinkan bahwa evolusi adalah kenyataan yang seharusnya dia cari penjelasan materialnya? Darwin sendiri memberi beberapa jawaban atas pertanyaan itu sepanjang hidupnya. Intinya, jawabannya berkisar antara sangat penting, tetapi tak sepenting burung-burung Galápagos, hingga, sangat krusial, titik.
Darwin mengisyaratkan tentang teori evolusi pada 1845, dalam edisi kedua kisah Beagle-nya yang dia revisi untuk menyertakan petunjuk samar tentang teori yang belum siap dia lansir tersebut. Hubungan antara fosil dan yang hidup sekarang di antara binatang pengerat, sloth, unta, dan armadillo merupakan “fakta yang paling menarik,” tulisnya. Pekerjaan lebih lanjut yang dilakukan oleh peneliti lainnya mengungkap pola yang sama di Brasil—pada fosil dan binatang yang hidup yaitu pemakan semut (anteater), monyet, pikari (jenis babi), dan possum. “Hubungan mengagumkan antara yang mati dan yang hidup di satu benua ,” tulis Darwin, akan “semakin menyinari kemunculan makhluk hidup serta kepunahannya di Bumi kita, dibanding jenis informasi yang lain.” Namun sinar yang seperti apa? Apa yang akan terlihat? “Menyinari” adalah salah satu metafora yang disukainya dan kata itu akan muncul kembali, tetapi baru lima belas tahun kemudian—setelah dia siap menyorotkan sinar teorinya yang menyilaukan ke muka umum.
Ada pertanyaan lain yang mengusik tentang rhea dan fosil Amerika Selatan: kapan bukti tersebut dipahami Darwin sehingga mengarahkannya ke gagasan tentang evolusi? Pandangan yang umum diterima adalah saat kembali dari pelayaran Beagle, dia belumlah menjadi penganut evolusi, dia hanya terusik dan dibingungkan oleh apa yang telah dilihatnya, dan dia melakukan lompatan besar ke pemikiran evolusi setelah berkonsultasi di London dengan John Gould dan Richard Owen, tentang spesimen fosil dan burung yang sudah dia kirim kepada mereka (tak lama setelah itu dia mulai menggunakan istilah baru untuk proses tersebut: “transmutasi”). Namun tidak semua orang setuju.
“Saya kira secara pribadi dia telah menganut paham ini lebih awal,” ujar seorang sejarawan paleontologi yang bernama Paul D. Brinkman. Kami duduk di kantornya di North Carolina Museum of Natural Sciences di Raleigh, ditemani potret Darwin muda, poster film Jurassic Park, dan foto-foto spesimen sloth tanah dan glyptodont yang sudah tua. “Mengapa ada kemiripan antara fosil fauna dan fauna yang hidup di kawasan ini? Mengapa satwa-satwa itu demikian serupa?” ujar Brinkman, mengajukan ulang pertanyaan yang mungkin timbul di benak Darwin. Pengerat purba dan agouti modern, glyptodont dan armadillo—mengapa? “Saya kira, salah satu penjelasan yang mungkin dipertimbangkan Darwin, bahkan seawal tahun 1832, adalah spesies tersebut merupakan keturunan yang lain. Transmutasi.” Namun, bahkan Brinkman pun mengakui bahwa hanya ada bukti lemah, “tidak ada bukti pasti,” untuk hipotesisnya bahwa Darwin telah menganut evolusionisme jauh sebelum berjalan di pantai Galápagos.
Salah satu kesaksian misterius datang dari Darwin sendiri, menjelang akhir hidupnya, dalam autobiografi pribadi yang dia tulis untuk keluarganya. “Selama pengarungan Beagle,” kenang Darwin, “aku sangat terkesan oleh penemuan fosil binatang besar di bebatuan Pampas yang memiliki perisai seperti armadillo yang ada sekarang.” Dia juga menyinggung rhea dan spesies-spesies di Galápagos, yang berbeda dari satu pulau ke pulau yang lain. “Itu adalah bukti,” tulis Darwin, “bahwa fakta seperti itu, di samping banyak hal lain, dapat dijelaskan dengan anggapan bahwa spesies berubah perlahan; dan hal tersebut menghantuiku.” Bertahun-tahun setelahnya, hal itu juga menghantui para sarjana.
Setelah menyelesaikan pekerjaan menyigi di Amerika Selatan dan menghabiskan waktu setahun mengelilingi dunia, Beagle kembali ke Inggris pada Oktober 1836. Darwin yang saat itu berusia 27 tahun serta sudah menjadi seorang naturalis berpengalaman yang lelah merantau dan ingin segera pulang, juga mengalami perubahan dalam segi lainnya. Dia tidak mau lagi menjadi pastor desa; dia membaktikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan. Setidaknya, dia mulai kehilangan keyakinannya terhadap spesies yang tidak dapat berubah. Hal itu tidak mungkin bisa diketahui dengan pasti, tetapi tampaknya saat itu dia telah mengidentifikasi pertanyaan besar, walaupun belum menemukan jawaban besar, yang akan mendominasi sisa usia produktifnya.
Karena spesimennya diserahkan kepada orang lain untuk diidentifikasi—burung kepada Gould, fosil mamalia kepada Owen, reptil kepada ahli zoologi bernama Thomas Bell—dia mulai menuliskan pikirannya secara teratur dan menelusuri kecurigaannya. Dia mencurahkan pikirannya dalam catatan yang sangat pribadi tentang burung unta, guanaco, dan apakah “satu spesies berubah menjadi spesies yang lain.” Jika benar demikian, bagaimana transmutasi seperti itu terlaksana? Sekitar setahun setengah kemudian, setelah menambahkan satu bagian krusial pada pemikirannya (gagasan tentang kelebihan reproduksi dan perjuangan untuk bertahan hidup yang diambil dari esai mengenai populasi manusia oleh Thomas Malthus), Darwin menyusun teorinya: seleksi alam, di mana anggota populasi yang paling bisa beradaptasi menyintas dan meneruskan keturunannya, sementara yang lainnya tidak.. Lalu dia mengasah, memoles, mengembangkan, dan menyembunyikan teori itu selama 20 tahun, sampai seorang yang lebih muda, Alfred Russel Wallace (baca “Di Bawah Bayang-bayang Darwin” di National Geographic edisi Desember 2008) menemukan gagasan yang sama, memaksa Darwin untuk bergegas mencetak bukunya.
Itu terjadi pada 1858 tatkala Darwin telah mulai menulis risalah yang panjang, terperinci, dan penuh catatan kaki tentang seleksi alam, tetapi baru setengah selesai. Dia panik, merasa hal itu miliknya, tapi juga menyadari kembali pentingnya jika cerita itu segera diumumkan. Dia pun menyisihkan buku tebal itu dan mulai menyusun catatan yang lebih ringkas. Versi yang lebih singkat dan tergesa-gesa ini hanyalah “abstraksi” dari teori dan data pendukungnya, demikian pengakuan Darwin. Dia menyebutnya sebagai “edisi yang menjijikkan” karena setelah beberapa dasawarsa perenungan dan penundaan, proses menulisnya demikian terburu-buru dan menyulitkan. Dia ingin memberi buku itu judul An Abstract of an Essay on the Origin of Species and Varieties Through Natural Selection, tetapi penerbit membujuknya agar menerima judul yang paling tidak sedikit lebih menarik. Tulisan itu terbit pada November 1859, dengan judul On the Origin of Species by Means of Natural Selection dan seterusnya, dan langsung laris terjual.
Lima edisi lagi dicetak selama masa hidup Darwin. Hampir tidak diragukan bahwa itu adalah buku ilmiah terpenting yang pernah diterbitkan. Setelah 150 tahun, orang masih memujanya, orang masih mengutuknya, dan The Origin of Species terus memberikan pengaruh luar biasa—walaupun, sayangnya, tidak banyak orang yang benar-benar membacanya.
Selain itu, petunjuk-petunjuk terlupakan yang menggiring Darwin menuju teorinya kebanyakan tetap terlupakan. Lagi pula, hal itu dihilangkan dari cerita mite tentang Darwin. Para sarjana masih berdebat mengenai pentingnya satwa-satwa Argentina yang punah dan masih ada, terutama sloth tanah dan glyptodont, sloth pohon, armadillo, dan rhea. Bukti-bukti yang ada tidak bisa disimpulkan dengan pasti, bahkan dalam beragam komentar mengenai hal itu yang dibuat oleh Darwin sendiri. Komentar yang paling jelas, dalam pandanganku, adalah yang berada di tempat yang begitu kentara sehingga cenderung tak diperhatikan. Komentar itu berupa dua kalimat pertama The Origin of Species yang memulai buku itu dengan nada nostalgia. Bunyinya:
“Saat berada di atas HMS ‘Beagle,’ sebagai seorang naturalis, saya sangat terpukau oleh beberapa fakta tentang distribusi penghuni Amerika Selatan dan hubungan geologi antara penghuni masa kini dan masa lalu benua itu. Fakta-fakta ini bagiku menyinari asal-usul spesies.…”
Burung pipit Galápagos muncul sekitar 400 halaman kemudian.
Petunjuk-petunjuk dari Galápagos ini memandu Darwin (apakah segera? Atau lama setelahnya? dalam hal ini cerita mitos tersebut menjadi kurang jelas) menyimpulkan bahwa keanekaragaman hayati di Bumi muncul melalui proses penurunan makhluk hidup yang disertai modifikasi—evolusi, demikian istilahnya sekarang—dan seleksi alam adalah mekanismenya. Darwin menulis buku yang berjudul The Origin of Species dan meyakinkan semua orang, kecuali para pemimpin Gereja Anglikan, bahwa demikianlah adanya.
Penjelasan tersebut tidak sepenuhnya benarah. Cerita bak kartun tentang pengarungan Beagle serta akibatnya itu memang ada benarnya, tetapi kisah itu juga mencampuraduk, memelintir, dan menghilangkan banyak hal. Misalnya, keragaman burung pipit di Galápagos tidaklah sejelas seperti keragaman burung mockingbird atau tenca (Mimus thenca), paling tidak pada awalnya dan Darwin baru mampu memahami perihal burung-burung pipit itu setelah dibantu oleh seorang pakar burung di Inggris.
Persinggahan di Galápagos merupakan anomali singkat menjelang akhir ekspedisi yang tujuan utamanya menyigi garis pantai Amerika Selatan. Darwin ikut di Beagle bukanlah sebagai naturalis resmi; dia adalah lulusan Cambridge berusia 22 tahun yang sedang mengawali karier dengan setengah hati sebagai pendeta desa. Darwin diundang mengikuti pengarungan tersebut sebagai teman makan malam sang kapten, Robert Fitzroy, seorang bangsawan muda yang temperamental. Dengan berjalannya waktu, Darwin memang seolah mengambil peran sebagai naturalis dan menganggap dirinya sebagai seorang naturalis. Namun, teorinya berkembang secara lambat, diam-diam, dan The Origin of Species (judul lengkapnya On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life) baru diterbitkan pada 1859. Selama puluhan tahun setelahnya, banyak ilmuwan, di samping sejumlah pendeta era Victoria, menentang bukti dan argumen evolusi tersebut. Memang, realitas evolusi diterima luas pada masa hidup Darwin, tetapi teorinya Darwin sendiri—dengan seleksi alam sebagai sebab utama—baru diakui sekitar 1940, setelah sukses berpadu dengan genetika.
Selain penjelasan di atas, hal paling menarik yang hilang dari dongeng penyederhanaan itu adalah: petunjuk pertama yang sesungguhnya bagi Darwin ke arah evolusi tidaklah berasal dari Galápagos, tetapi dari tiga tahun sebelumnya di sebuah pantai yang bergelora di pesisir utara Argentina. Petunjuk itu tidak berupa bentuk paruh burung, bahkan bukan makhluk hidup. Petunjuk tersebut adalah sekumpulan fosil. Lupakan saja dulu tentang pipit Darwin. Untuk mendapatkan sudut pandang yang baru tentang pengarungan Beagle, mulailah dari armadillo dan sloth raksasa Darwin.
Pada September 1832, dalam tahun pertama misinya, HMS Beagle melepas sauh di dekat Bahía Blanca, sebuah permukiman di bagian terdalam teluk sekitar 650 kilometer barat daya Buenos Aires. Saat itu Jenderal Rosas sedang melancarkan perang genosida terhadap bangsa Indian dan Bahía Blanca merupakan benteng depan Argentina. Sebagian besar penghuninya tentara. Selama lebih dari sebulan Beagle singgah di kawasan itu, beberapa awaknya sibuk menyigi, yang lain melakukan pekerjaan di darat—menggali sumur, mencari kayu bakar, dan berburu binatang. Lanskap di seputarnya adalah Pampas Argentina yang klasik, padang rumput subur yang berbatasan dengan bukit pasir yang ditahan keberadaannya oleh rerumputan di sepanjang pantai. Para pemburu membawa pulang rusa, agouti (sejenis binatang pengerat, genus Dasyprocta), dan beberapa jenis binatang buruan lain, termasuk beberapa armadillo dan seekor burung yang tidak bisa terbang yang disebut oleh Darwin sebagai “burung unta”. Tentu saja itu bukan burung unta (satwa asli Afrika, dan sebelumnya Timur Tengah); burung itu seekor rhea, tepatnya Rhea americana, bentuknya mirip burung unta tetapi endemik Amerika Selatan dan merupakan burung terberat di benua itu.
“Menu makan malam kami hari ini tentu terdengar sangat aneh di Inggris,” tulis Darwin yang menikmati keeksotisan gaya hidupnya yang baru, dalam catatan hariannya pada 18 September: “Siomai burung unta dan Armadillo.” Dia juga terlibat petualangan yang meriah, bukan hanya kerja lapangan yang biasa tentang sejarah alam, dan buku hariannya selama di kapal (kemudian hari menjadi buku perjalanan berjudul The Voyage of the Beagle) mencerminkan perhatiannya pada budaya, masyarakat, politik, di samping ilmu pengetahuan. Dia mencatat, daging merah dari burung besar mirip daging sapi. Armadillo yang dikuliti cangkangnya terlihat dan terasa seperti daging bebek. Pengalaman makannya di Pampas dan kemudian di Patagonia, di samping menjadi bagian dari tur penemuannya yang lahap, pada akhirnya berperan dalam pemikiran evolusinya.
Beberapa hari setelah itu, pada 22 September 1832, Darwin dan Fitzroy naik perahu kecil untuk mengunjungi sebuah lokasi yang bernama Punta Alta, 16 kilometer dari tempat mereka lego jangkar. Di sana mereka menemukan beberapa singkapan batu yang menjorok ke atas air. “Ini yang pertama yang pernah kulihat,” tulis Darwin, “ dan sangat menarik karena mengandung banyak cangkang dan tulang binatang besar.”
Tak seperti namanya, Punta Alta (“Tanjung Tinggi”) tidaklah terlalu tinggi, tebingnya yang terbuat dari batu lumpur kemerahan hanya sekitar enam meter tingginya. Jikapun tanjung tersebut tidak mengesankan, tidak demikian dengan fosil yang tersingkap di sana: besar, berbentuk aneh-aneh, dan berlimpah. Darwin, dibantu seorang pria, menggali batu yang lunak dengan beliung. Antara sesi tersebut dan upaya-upaya berikutnya, dia memperoleh rangka sembilan mamalia besar dari Punta Alta, semuanya tidak dikenal atau hampir tidak dikenal oleh ilmu pengetahuan. Satwa-satwa adalah raksasa-raksasa Pleistosen yang telah punah, hanya ada di Amerika pada suatu masa sebelum 12.000 tahun silam.
Yang paling terkenal adalah Megatherium, seekor sloth tanah seukuran gajah yang sudah pernah dinamai dan diuraikan oleh ahli anatomi Prancis Georges Cuvier berdasarkan satu set fosil yang ditemukan di Paraguay. Sloth yang hidup zaman sekarang berasal dari Amerika Selatan dan Tengah, dan hanya ada di sana; Megatherium memiliki banyak kesamaan anatomi, tetapi tubuhnya terlalu besar untuk bisa memanjat pohon. Temuan Darwin juga termasuk setidaknya tiga sloth tanah raksasa, sejenis kuda yang sudah punah, dan satu karapaks pelindung yang tersusun atas sisik tulang kecil yang menyatu, sisa-sisa dari seekor binatang besar yang pasti sangat mirip dengan armadillo. Saat itu, Darwin sudah familiar dengan armadillo hidup, telah melahap daging kupas yang rasanya mirip bebek itu bersama siomai burung unta. Dia juga pernah melihat gaucho setempat membunuh armadillo dan memanggangnya dalam cangkangnya. Di antara 20 spesies armadillo yang ada, semuanya hanya ada di Amerika dan beberapa umum ditemui di Pampas; binatang yang dipanggang itu mungkin armadillo bergaris enam (Euphractus sexcinctus) yang banyak terdapat di sana dan terkenal tidak enak, tetapi ini tidak menghalangi para gaucho yang tidak pilih-pilih makanan, yang terkadang makan apa saja selama berminggu-minggu. “Seperti keong, mereka memanggul semua barangnya dan makanan mereka diambil dari sekeliling,” tulis Darwin merujuk kepada para gembala sapi itu, bukan armadillo.
Sebulan kemudian, di pantai 50 kilometer di utara Punta Alta, Darwin menemukan tebing laut kaya-fosil yang lain, tingginya 35 meter dan menandai sebuah tempat bernama Monte Hermoso. Di sana dia menggali sisa-sisa jasad yang membatu dari beberapa makhluk pengerat, yang mengingatkannya kepada agouti, capybara (jenis babi Amerika Selatan), dan tuco-tuco, sejenis binatang pengerat Amerika yang lebih kecil, tetapi lagi-lagi, untuk setiap kasus, antara fosil dan spesies yang ada sekarang sangat mirip tapi tidak identik. Kemudian di pantai Argentina yang lebih jauh ke selatan, dia menggali kerangka mamalia ketiga yang menurut ahli anatomi yang akhirnya memeriksanya, mirip sejenis unta yang sudah punah. Makhluk itu jadi dikenal sebagai Macrauchenia. Keluarga unta termasuk dua spesies liar Amerika Selatan, guanaco dan vicuña, di samping yang jinak, llama dan alpaca. Darwin mengetahui bahwa guanaco hidup di daerah itu karena beberapa hari sebelumnya dia menembak seekor.
Penemuan, analogi, dan jukstaposisi ini terekam dalam ingatan dan imajinasi Darwin dan mengendap sepanjang sisa perjalanan dan beberapa tahun setelahnya. Sementara itu, fosil-fosil tersebut dikemas untuk dikapalkan pulang ke Inggris, sebagian besar ditujukan kepada John Stevens Henslow, ahli botani lembut yang merupakan mentor Darwin di Cambridge.
“Saya beruntung mendapat tulang-tulang fosil,” dia bercerita kepada Henslow melalui surat. Darwin menyebut pengerat besar, sloth tanah, dan bagian sisik tulang berbentuk poligon. Komentarnya tentang yang terakhir: “Begitu melihatnya, saya berpikir bahwa ini pastilah milik seekor armadillo raksasa, spesies hidup yang genusnya sangat banyak di sini.” Darwin menambahkan: “Jika hal ini cukup membuat Anda tertarik untuk membukanya, saya sangat ingin mendengar pendapat Anda tentang fosil-fosil itu.”
Adalah penting untuk tidak melebih-lebihkan bahwa betapa saat itu Darwin mampu mengenali, apa lagi menafsirkan fosil yang ditemukannya. Sebagian besar fosil yang ditemukannya, selain Megatherium, berasal dari binatang yang belum dikenal oleh para pakar, sementara Darwin bukan seorang pakar. Dia bukan ahli anatomi perbandingan seperti Cuvier yang tersohor; dia tidak terlalu tahu tentang mamalia; dan kata “paleontolog” belum digunakan pada masa itu. Darwin memercayakan deskripsi dan identifikasi fosil-fosilnya kepada seorang ahli anatomi muda yang brilian di London bernama Richard Owen, seorang pakar tentang mamalia-punah yang sedang naik daun. Owenlah yang memberi nama kepada sloth tak dikenal itu dan Owen yang mengajukan pendapat (secara keliru, kemudian dikoreksinya sendiri) tentang hubungan antara Macrauchenia dan unta.
Darwin sendiri bukan pakar seperti Owen. Dia hanyalah orang lapangan yang cermat, rakus akan spesimen, dan belajar sambil jalan. Undangan Beagle menyelamatkan Darwin dari masa depan sebagai pendeta desa yang tidak cocok untuknya dan sejak hari-hari pertamanya di atas kapal, dia bekerja dengan rajin dan cepat matang sehingga mampu mengambil (dan kemudian melampaui) peran sebagai naturalis kapal itu. Kualifikasi terbaik Darwin untuk menafsirkan fosil adalah rasa ingin tahunya yang besar, bakatnya akan pengamatan yang cermat, dan naluri bahwa semua hal dalam alam ini entah bagaimana berkaitan satu sama lain. Di samping itu, dia tidak takut berspekulasi dengan berani—sepanjang dilakukannya secara diam-diam.
Datum kecil, tetapi penting lainnya diperoleh Darwin beberapa bulan kemudian, saat Beagle singgah di dekat Patagonia bagian utara dan Darwin menghabiskan waktu di darat bersama sekelompok gaucho lain yang simpatik. Awalnya cuma desas-desus: Para gaucho menyinggung jenis burung unta yang langka, lebih kecil dari yang biasa, kakinya lebih pendek, dan lebih mudah dibunuh dengan bandering mereka, tetapi selain itu serupa. Kemungkinan dalam menemukan burung itu luput dari pikiran Darwin sampai salah satu rekan awak kapalnya menembak “burung unta” yang lebih kecil itu (rhea yang berbeda) untuk diambil dagingnya. Darwin tidak terlalu mengacuhkannya, menganggap burung tersebut masih muda.
“Burung itu sudah selesai dikuliti dan dimasak sebelum aku teringat,” tulis Darwin dalam sebuah catatan yang sangat hidup sehingga kita hampir bisa membayangkan dia menepuk jidatnya. “Namun, kepala, leher, kaki, sayap, banyak dari bulu yang besar, serta sebagian besar kulit telah diawetkan.” Dia menyelamatkan sisa-sisa tersebut dan mengirimkannya ke Inggris. Di sana, potongan-potongan itu dijahit menjadi spesimen yang cukup utuh bagi museum Zoological Society. Ahli ornitologi John Gould yang kelak dikirimi Darwin pipit dan mockingbird Galápagos untuk diidentifikasi, juga pertama kali melihat makhluk ini. Gould memastikan bahwa ini adalah spesies yang berbeda dan menyebutnya Rhea darwinii (nama ini kemudian berubah karena hal teknis taksonomi) berdasarkan nama si lelaki yang menyelamatkannya dari tumpukan sampah.
Yang paling menarik perhatian Darwin tentang kedua spesies rhea tersebut adalah, walaupun keduanya sangat mirip, irisan distribusi geografinya sangat kecil. Rhea besar mendiami Pampas dan Patagonia utara, ke selatan hingga Río Negro di Argentina yang mengalir ke laut pada sekitar 41° lintang selatan; rhea kecil menggantikan yang besar di seberang Río Negro dan mendiami Patagonia selatan. Bersama dengan bukti mamalia Amerika Selatan yang punah, implikasi keanekaragaman dan distribusi rhea sama meyakinkannya bagi Darwin dengan pola yang kemudian ditemukannya di antara burung pipit dan mockingbird Galápagos.
Bagaimana spesies berasal, dan bagaimana sehingga hidup di tempatnya sekarang? Kisah yang umum yang tetap dianut erat oleh ilmu pengetahuan Eropa di saat pengarungan Beagle adalah bahwa Tuhan menciptakan spesies secara sendiri-sendiri, dalam kelompok-kelompok (untuk mengganti yang punah), dan memilih untuk menempatkannya hampir secara sembarang di tempatnya masing-masing—kanguru di Australia, jerapah dan zebra di Afrika, rhea, sloth, dan armadillo di Amerika Selatan, makhluk yang masih hidup dan punah berkumpul dengan erat dalam ruang dan waktu.
Namun bagi Darwin, baik mamalia yang telah punah (bersama jenisnya yang masih hidup di antara sloth dan armadillo) dan kedua jenis rhea (menempati kawasan habitat yang berdampingan) menandakan sesuatu yang lebih rasional: gagasan tentang hubungan dan suksesi di antara spesies yang berkerabat dekat. Sloth pohon dan armadillo yang hidup sekarang sepertinya melanjutkan bentuk sebelumnya, mendiami medan yang kurang-lebih sama dalam kala yang berbeda dalam sejarah Bumi. (Jenis-jenis sloth yang lebih awal itu adalah sloth sejati; makhluk berperisai yang lebih awal itu sekarang dikenal sebagai glyptodont, satu familia yang berbeda tetapi sangat dekat dengan armadillo yang hidup sekarang.)
Kedua rhea, serupa tapi tak sama, kemungkinan adalah keturunan satu sama lain—namun dalam ruang, di sepanjang dimensi horizontal lanskap. Pengelompokan dalam ruang dan waktu seperti itu menunjukkan bahwa setiap kelompok berasal, dengan modifikasi, dari nenek moyang yang sama: rhea dari rhea, sloth dari sloth yang lebih awal, armadillo dari pendahulu yang mirip armadillo atau glyptodont, mungkin jauh lebih besar daripada armadillo yang hidup saat ini. Itulah penjelasan yang menurut Darwin paling tepat, karena agaknya lebih efisien, lebih induktif, dan lebih meyakinkan daripada skenario penciptaan.
Sepenting apa peran data Amerika Selatan itu dalam menggoyahkan keyakinan Darwin terhadap pandangan ortodoks—meyakinkan bahwa evolusi adalah kenyataan yang seharusnya dia cari penjelasan materialnya? Darwin sendiri memberi beberapa jawaban atas pertanyaan itu sepanjang hidupnya. Intinya, jawabannya berkisar antara sangat penting, tetapi tak sepenting burung-burung Galápagos, hingga, sangat krusial, titik.
Darwin mengisyaratkan tentang teori evolusi pada 1845, dalam edisi kedua kisah Beagle-nya yang dia revisi untuk menyertakan petunjuk samar tentang teori yang belum siap dia lansir tersebut. Hubungan antara fosil dan yang hidup sekarang di antara binatang pengerat, sloth, unta, dan armadillo merupakan “fakta yang paling menarik,” tulisnya. Pekerjaan lebih lanjut yang dilakukan oleh peneliti lainnya mengungkap pola yang sama di Brasil—pada fosil dan binatang yang hidup yaitu pemakan semut (anteater), monyet, pikari (jenis babi), dan possum. “Hubungan mengagumkan antara yang mati dan yang hidup di satu benua ,” tulis Darwin, akan “semakin menyinari kemunculan makhluk hidup serta kepunahannya di Bumi kita, dibanding jenis informasi yang lain.” Namun sinar yang seperti apa? Apa yang akan terlihat? “Menyinari” adalah salah satu metafora yang disukainya dan kata itu akan muncul kembali, tetapi baru lima belas tahun kemudian—setelah dia siap menyorotkan sinar teorinya yang menyilaukan ke muka umum.
Ada pertanyaan lain yang mengusik tentang rhea dan fosil Amerika Selatan: kapan bukti tersebut dipahami Darwin sehingga mengarahkannya ke gagasan tentang evolusi? Pandangan yang umum diterima adalah saat kembali dari pelayaran Beagle, dia belumlah menjadi penganut evolusi, dia hanya terusik dan dibingungkan oleh apa yang telah dilihatnya, dan dia melakukan lompatan besar ke pemikiran evolusi setelah berkonsultasi di London dengan John Gould dan Richard Owen, tentang spesimen fosil dan burung yang sudah dia kirim kepada mereka (tak lama setelah itu dia mulai menggunakan istilah baru untuk proses tersebut: “transmutasi”). Namun tidak semua orang setuju.
“Saya kira secara pribadi dia telah menganut paham ini lebih awal,” ujar seorang sejarawan paleontologi yang bernama Paul D. Brinkman. Kami duduk di kantornya di North Carolina Museum of Natural Sciences di Raleigh, ditemani potret Darwin muda, poster film Jurassic Park, dan foto-foto spesimen sloth tanah dan glyptodont yang sudah tua. “Mengapa ada kemiripan antara fosil fauna dan fauna yang hidup di kawasan ini? Mengapa satwa-satwa itu demikian serupa?” ujar Brinkman, mengajukan ulang pertanyaan yang mungkin timbul di benak Darwin. Pengerat purba dan agouti modern, glyptodont dan armadillo—mengapa? “Saya kira, salah satu penjelasan yang mungkin dipertimbangkan Darwin, bahkan seawal tahun 1832, adalah spesies tersebut merupakan keturunan yang lain. Transmutasi.” Namun, bahkan Brinkman pun mengakui bahwa hanya ada bukti lemah, “tidak ada bukti pasti,” untuk hipotesisnya bahwa Darwin telah menganut evolusionisme jauh sebelum berjalan di pantai Galápagos.
Salah satu kesaksian misterius datang dari Darwin sendiri, menjelang akhir hidupnya, dalam autobiografi pribadi yang dia tulis untuk keluarganya. “Selama pengarungan Beagle,” kenang Darwin, “aku sangat terkesan oleh penemuan fosil binatang besar di bebatuan Pampas yang memiliki perisai seperti armadillo yang ada sekarang.” Dia juga menyinggung rhea dan spesies-spesies di Galápagos, yang berbeda dari satu pulau ke pulau yang lain. “Itu adalah bukti,” tulis Darwin, “bahwa fakta seperti itu, di samping banyak hal lain, dapat dijelaskan dengan anggapan bahwa spesies berubah perlahan; dan hal tersebut menghantuiku.” Bertahun-tahun setelahnya, hal itu juga menghantui para sarjana.
Setelah menyelesaikan pekerjaan menyigi di Amerika Selatan dan menghabiskan waktu setahun mengelilingi dunia, Beagle kembali ke Inggris pada Oktober 1836. Darwin yang saat itu berusia 27 tahun serta sudah menjadi seorang naturalis berpengalaman yang lelah merantau dan ingin segera pulang, juga mengalami perubahan dalam segi lainnya. Dia tidak mau lagi menjadi pastor desa; dia membaktikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan. Setidaknya, dia mulai kehilangan keyakinannya terhadap spesies yang tidak dapat berubah. Hal itu tidak mungkin bisa diketahui dengan pasti, tetapi tampaknya saat itu dia telah mengidentifikasi pertanyaan besar, walaupun belum menemukan jawaban besar, yang akan mendominasi sisa usia produktifnya.
Karena spesimennya diserahkan kepada orang lain untuk diidentifikasi—burung kepada Gould, fosil mamalia kepada Owen, reptil kepada ahli zoologi bernama Thomas Bell—dia mulai menuliskan pikirannya secara teratur dan menelusuri kecurigaannya. Dia mencurahkan pikirannya dalam catatan yang sangat pribadi tentang burung unta, guanaco, dan apakah “satu spesies berubah menjadi spesies yang lain.” Jika benar demikian, bagaimana transmutasi seperti itu terlaksana? Sekitar setahun setengah kemudian, setelah menambahkan satu bagian krusial pada pemikirannya (gagasan tentang kelebihan reproduksi dan perjuangan untuk bertahan hidup yang diambil dari esai mengenai populasi manusia oleh Thomas Malthus), Darwin menyusun teorinya: seleksi alam, di mana anggota populasi yang paling bisa beradaptasi menyintas dan meneruskan keturunannya, sementara yang lainnya tidak.. Lalu dia mengasah, memoles, mengembangkan, dan menyembunyikan teori itu selama 20 tahun, sampai seorang yang lebih muda, Alfred Russel Wallace (baca “Di Bawah Bayang-bayang Darwin” di National Geographic edisi Desember 2008) menemukan gagasan yang sama, memaksa Darwin untuk bergegas mencetak bukunya.
Itu terjadi pada 1858 tatkala Darwin telah mulai menulis risalah yang panjang, terperinci, dan penuh catatan kaki tentang seleksi alam, tetapi baru setengah selesai. Dia panik, merasa hal itu miliknya, tapi juga menyadari kembali pentingnya jika cerita itu segera diumumkan. Dia pun menyisihkan buku tebal itu dan mulai menyusun catatan yang lebih ringkas. Versi yang lebih singkat dan tergesa-gesa ini hanyalah “abstraksi” dari teori dan data pendukungnya, demikian pengakuan Darwin. Dia menyebutnya sebagai “edisi yang menjijikkan” karena setelah beberapa dasawarsa perenungan dan penundaan, proses menulisnya demikian terburu-buru dan menyulitkan. Dia ingin memberi buku itu judul An Abstract of an Essay on the Origin of Species and Varieties Through Natural Selection, tetapi penerbit membujuknya agar menerima judul yang paling tidak sedikit lebih menarik. Tulisan itu terbit pada November 1859, dengan judul On the Origin of Species by Means of Natural Selection dan seterusnya, dan langsung laris terjual.
Lima edisi lagi dicetak selama masa hidup Darwin. Hampir tidak diragukan bahwa itu adalah buku ilmiah terpenting yang pernah diterbitkan. Setelah 150 tahun, orang masih memujanya, orang masih mengutuknya, dan The Origin of Species terus memberikan pengaruh luar biasa—walaupun, sayangnya, tidak banyak orang yang benar-benar membacanya.
Selain itu, petunjuk-petunjuk terlupakan yang menggiring Darwin menuju teorinya kebanyakan tetap terlupakan. Lagi pula, hal itu dihilangkan dari cerita mite tentang Darwin. Para sarjana masih berdebat mengenai pentingnya satwa-satwa Argentina yang punah dan masih ada, terutama sloth tanah dan glyptodont, sloth pohon, armadillo, dan rhea. Bukti-bukti yang ada tidak bisa disimpulkan dengan pasti, bahkan dalam beragam komentar mengenai hal itu yang dibuat oleh Darwin sendiri. Komentar yang paling jelas, dalam pandanganku, adalah yang berada di tempat yang begitu kentara sehingga cenderung tak diperhatikan. Komentar itu berupa dua kalimat pertama The Origin of Species yang memulai buku itu dengan nada nostalgia. Bunyinya:
“Saat berada di atas HMS ‘Beagle,’ sebagai seorang naturalis, saya sangat terpukau oleh beberapa fakta tentang distribusi penghuni Amerika Selatan dan hubungan geologi antara penghuni masa kini dan masa lalu benua itu. Fakta-fakta ini bagiku menyinari asal-usul spesies.…”
Burung pipit Galápagos muncul sekitar 400 halaman kemudian.
Date:
Langganan:
Postingan (Atom)